Kesadaran tentang presidential threshold (PT) sebenarnya sudah lama. Hal itu terbukti dengan sudah 13 kali judicial review diajukan, namun tidak pernah dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Pakar hukum tata negara Refly Harun (kanan) dalam Diskusi Nasional bertema Urgensi Amandemen UUD 1945 Dalam Rangka Menuju Indonesia Maju di Gedung Nusantara IV DPD RI, Senayan, Jakarta, Senin (13/12). (Foto: Humas DPD RI)
“Saya berpendapat bukan karena argumentasi konstitusionalnya yang kurang, akan tetapi cengkraman dan kekuatan oligarki terlalu kuat. Bahkan sampai ke relung kekuasaan yudikatif,” kata pakar hukum tata negara Refly Harun di Gedung Nusantara IV DPD RI, Senayan, Jakarta, Senin (13/12).
Hal itu disampaikannya dalam Diskusi Nasional bertema Urgensi Amandemen UUD 1945 Dalam Rangka Menuju Indonesia Maju. Menurutnya, apa yang disampaikannya itu apa adanya. Karena bagi oligarki, PT adalah tiket untuk memenangkan kontestasi secara mudah dan murah.
“Maka dia tidak hanya berlaku di tingkat nasional, tapi belaku juga di tingkat daerah lokal, kabupaten kota dan provinsi. Inilah cara oligarki untuk menguasai politik dan cara para elit politik untuk mendapatkan keuntungan politik dengan cara menyewakan perahu,” ujarnya.
Dia menambahkan, biaya politik makin lama makin mahal. Bahkan bisa mencapai triliunan rupiah untuk perahu pilpres dan ratusan atau puluhan miliar untuk perahu gubernur, bupati dan walikota.
“Maka tidak heran yang terjadi saat ini adalah demokrasi criminal. Dimana demokrasi membuat negeri ini dikuasai oleh para cukong dalam setiap level pemilihan. Kita harus mengakhiri hal ini, dengan cara mengajukan agar PT menjadi nol persen dari 20 persen kursi atau 25 persen suara,” tandasnya.
Demikian juga threshold di pilkada yang membuat demokrasi menjadi demokrasi yang demokrasi yang berbiaya mahal. Sebab, demokrasi yang hanya diikuti orang-orang tertentu yang bisa maju dalam pemilihan presiden, wakil presiden gubernur, bupati dan walikota.
“Padahal untuk tahun 2024 kita menginginkan calon presiden yang jauh lebih banyak, beragam dan lebih mewakili aspirasi aspirasi yang ada di Republik Indonesia. Tetapi dengan adanya PT, jangan berharap kita bisa maju karena pintu yang dibuka sangat sempit dan biasanya sangat tergantung oligarki politik, terutama dari partai-partai besar,” tegasnya.