Tolak Gugatan Presidential Threshold DPD RI, Putusan MK Dinilai Kemenangan Sementara Oligarki

Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menerima gugatan DPD RI terkait Pasal 222 Undang-Undang Pemilu tentang ambang batas pencalonan atau Presidential Threshold (PT).

Tolak Gugatan Presidential Threshold DPD RI, Putusan MK Dinilai Kemenangan Sementara Oligarki

Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menunaikan ibadah haji 1443 H. (Bagian Pemberitaan dan Media DPD RI)

Wowsiap.com - Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menerima gugatan DPD RI terkait Pasal 222 Undang-Undang Pemilu tentang ambang batas pencalonan atau Presidential Threshold (PT) dalam perkara Nomor 52/PUU-XX/2022. MK menilai, DPD RI tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara tersebut.  

“Penolakan  itu adalah kemenangan sementara oligarki politik dan oligarki ekonomi, yang menyandera dan mengatur negara ini,” kata Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti di Mekkah, Arab Saudi, Kamis (7/7).

Menurutnya, hal itu kemenangan sementara, karena dirinya akan memimpin gerakan mengembalikan kedaulatan negara ini ke tangan rakyat sebagai pemilik sah negara ini. dia juga menegaskan, tidak boleh membiarkan negara dikuasai oleh oligarki.

Putusan yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman pada Kamis (7/7) pukul 11.09 WIB. Dalam perkara yang sama, MK menerima kedudukan hukum Partai Bulan Bintang (PBB).

Namun dalam amar putusannya, MK menolak permohonan PBB untuk seluruhnya. Karena MK tetap pada pendapatnya, bahwa Pasal 222 UU Pemilu Konstitusional dan mengenai angka ambang batas yang ditetapkan, merupakan open legal policy (kewenangan pembuat Undang-Undang). 

“Kedaulatan rakyat sudah final dalam sistem yang dibentuk oleh para pendiri bangsa. Tinggal kita sempurnakan. Tetapi kita bongkar total dan porak-porandakan dengan Amandemen yang ugal-ugalan pada tahun 1999-2002 silam,” ujarnya. 

Durhaka
Dia menambahkan, Indonesia menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa. Akibatnya, tujuan negara ini bukan lagi memajukan kesejahteraan umum, tetapi memajukan kesejahteraan segelintir orang yang menjadi oligarki ekonomi dan oligarki politik.

“Saya heran dengan pertimbangan hukum majelis hakim MK ketika menyatakan bahwa Pasal 222 UU Pemilu disebut konstitusional. Padahal nyata-nyata tidak ada ambang batas pencalonan di Pasal 6A Konstitusi,” tandasnya.

Dan yang paling inti adalah majelis Hakim MK tidak melihat dan menyerap perkembangan kebutuhan masyarakat. Padahal hukum ada untuk manusia. Bukan manusia untuk hukum,” tegasnya. 

Selain itu, hukum bukan skema final. Dimana perkembangan kebutuhan masyarakat harus jadi faktor pengubah hukum. Dikatakan, itulah inti dari keadilan.

Sebelumnya, dia menyatakan MK layak dibubarkan jika membiarkan oligarki ekonomi menguasai negara melalui celah Presidential Threshold. Karena Pasal 222 adalah pasal penyumbang terbesar ketidakadilan dan kemiskinan struktural di Indonesia.

“Melalui pasal ini, oligarki ekonomi mengatur permainan untuk menentukan pimpinan nasional bangsa ini, sekaligus menyandera melalui kebijakan yang harus berpihak kepada mereka,” ucapnya.

Dia menjelaskan, Pasal 222 yang menyumbang besarnya biaya koalisi partai politik dan biaya pilpres, menjadi pintu bagi oligarki ekonomi untuk membiayai semua proses itu. Karena itulah, DPD RI menyalurkan aspirasi masyarakat melalui gugatan ke MK.

Putusan MK Pasal 222 oligarki presidential threshold