Perdebatan mengenai ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) masih menjadi perdebatan elit dan diskursus publik yang menarik.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) Sultan B Najamudin. (Foto: Humas DPD RI)
“Hegemoni politik yang tidak relevan dengan semangat demokrasi ini harus kita akhiri. Bahwa benar konstitusi mensyaratkan partai politik sebagai kendaraan politik capres, tapi parpol tidak bisa mengklaim menjadi pihak yang paling baik dan paling berjasa dalam membangun demokrasi,” kata Wakil Ketua DPD RI Sultan B Najamuddin, Jum'at (17/12).
Menurutnya, pihak yang melakukan uji materi bukan hanya berasal dari civil society dan akademisi atau ahli hukum, tapi juga dari kader parpol. Dia menganggap, UU Pemilu yang cenderung eksklusif itu juga tidak demokratis.
“PT 20 persen merupakan wujud diskriminasi politik terhadap parpol tertentu. Serta menegasikan realitas demografi Indonesia yang sangat besar ini. Tidak adil jika rakyat yang berjumlah 270 juta jiwa ini, hanya disuguhi dengan dua pilihan capres yang merupakan hasil skenario politik elit,” ujarnya.
Dikatakan, parpol seharusnya menjadi pihak yang paling dirugikan dengan ketentuan ini. Karena Setiap partai tentu memiliki visi dan platform politik yang berbeda. Namun karena partai cenderung pragmatis dan tidak ideologis, maka hal ini menjadi lumrah.
“Akibatnya, parpol kehilangan perannya dalam melahirkan calon pemimpin. Kalapun ada calon presidennya itu-itu saja. Parpol gagal meregenerasi sel-sel kepemimpinan bangsa, berikut tugas edukasi politik nya bagi masyarakat,” tandasnya.
Hal itu karena parpol lebih memilih berkoalisi dengan pemerintah. Akibatnya landscape demokrasi menjadi kering. Buktinya, indeks demokrasi Indonesia sejak 2020 menempati titik terendahnya sejak reformasi. “Bahkan indeks demokrasi kita kalah dari Timor Leste,” tegasnya.
Artinya, kata dia, parpol yang seharusnya melahirkan politisi-politisi yang ideal bagi demokrasi, justru mencari aman di ruang kekuasaan. Bahkan ketua umum partai bersedia menjadi pembantu presiden. “Akibatnya demokrasi kita terkesan hanya melahirkan politisi, bukan negarawan,” tukasnya.