Keputusan Pertamina menaikkan BBM nonsubsidi Pertamax menjadi Rp 16.000 per liter, seharusnya tidak dilakukan.
Ketua Bidang Kebijakan Publik Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Achmad Nur Hidayat. (Foto: Gelora Media Center)
“Khususnya di tengah kenaikan harga dan kelangkaan komoditas. Tetapi, apakah etis menaikkan harga BBM non subsidi tengah bertubi-tubinya penderitaan masyarakat saat ini,” kata Ketua Bidang Kebijakan Publik Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Achmad Nur Hidayat, Rabu (30/3).
Sebab, pemerintah seharusnya fokus mengatasi masalah-masalah bahan pokok dengan kebijakan secara konkret. Dan bukan sebaliknya, menaikkan harga BBM subsidi untuk menutupi defisit APBN.
“Rakyat harus mobilisasi untuk hidup lebih mandiri dari hasil produksi sendiri, memenuhi kebutuhan pokok dari kebun rakyat sendiri,” ujarnya. Dia mengakui, dampak perang Rusia-Ukraina sudah dirasakan oleh berbagai negara, termasuk Indonesia.
Harga minyak dunia naik 5 persen menjadi 121 dolar AS per barel pada Rabu (23/3) lalu. Hal ini akibat gangguan pada ekspor minyak mentah Rusia dan Kazakhstan lewat pipa Caspian Pipeline Consortium (CPC).
“Situasi ini diperparah adanya penyerangan terhadap kilang minyak Aramco, buntut pertikaian Arab Saudi dengan Yaman. Dua situasi ini, tentu saja akan menyebabkan kelangkaan minyak dan harga minyak dunia akan semakin melambung tinggi,” tandasnya.
Kenaikan itu tentu akan berakibat kenaikan harga BBM di dalam negeri. Dimana tentunya akan menambah beban APBN dalam pengadaan BBM. Dikatakan, BBM subsidi saat ini akan semakin langka di pasaran.
“Setelah Premiun menghilang, Pertalite dipastikan juga akan langka dan hilang di pasaran. Masyarakat akan dipaksa 100 persen menggunakan BBM nonsubsidi seperti Pertamax, Pertamax Turbo, Pertamina Dex dan Dexlite,” tegasnya.
Dibayarkan
Dia menambahkan, utang pemerintah ke pertamina yang harus dibayarkan pada akhir 2021 adalah Rp 109 triliun. Utang tersebut meliputi Rp 84,4 triliun untuk BBM dan Rp 24,6 triliun untuk listrik.
“Utang yang besar inilah yang menyebabkan hilangnya BBM bersubsidi Premiun (RON 88) di pompa-pompa bensin Januari-Maret 2022. Pertalite akan bernasib sama seperti Premium, tiba-tiba hilang di pasaran,” ucapnya.
Premiun dan Pertalite akan hilang dari pasaran, karena pemerintah tak kunjung membayarkan utangnya kepada Pertamina. Terkait hal itu pula, pemerintah juga harus sudah mempersiapkan langkah antisipasi dampak yang ditimbulkan dari kenaikan harga minyak.
“Langkah antisipasi diantaranya dengan mempercepat konversi minyak nabati menjadi BBM dengan menggunakan teknologi dari anak-anak bangsa. Antara lain seperti mempercepat implementasi D100 (Diesel) dan B100 (Bensin) dari sawit,” imbuhnya.
Jika langkah antisipasi tidak cukup baik dan siap, tentunya masyarakat akan merasakan penderitaan secara bertubi-tubi sebagai dampak kenaikan BBM dan dampak turunan yang ditimbulkannya khususnya di puasa 2022 ini.