Ketimpangan sosial yang terjadi di Indonesia, disebabkan oligarki yang diberi ruang besar.
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti saat memberi Kuliah Umum Kebangsaan bertema Berdaulat Melalui Sistem Ekonomi Pancasila, di Universitas Syiah Kuala (USK), Banda Aceh, Rabu (23/3). (Foto: Bagian Pemberitaan dan Media DPD RI)
“Negara ini memberi ruang besar kepada oligarki, bukan kepada rakyat sebagai pemilik negara. Akibatnya, kita lihat ketimpangan sosial dan gap kekayaan sangat tinggi,” kata Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti di Universitas Syiah Kuala (USK), Banda Aceh, Rabu (23/3).
Hal itu disampaikannya saat memberi Kuliah Umum Kebangsaan yang mengambil tema, Berdaulat Melalui Sistem Ekonomi Pancasila. Menurutnya, dari hasil penelitian Lembaga Internasional OXFAM, harta dari empat orang terkaya di Indonesia, setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang miskin di Indonesia.
“Indonesia saat ini adalah negara keenam dengan tingkat ketimpangan tertinggi di dunia. OXFAM juga mencatat, jumlah miliuner di Indonesia meningkat 20 kali lipat dalam 14 tahun, sejak 2002 hingga 2016 silam,” ujarnya.
Bahkan, OXFAM juga menyebut dalam dua dekade terakhir, kesenjangan antara orang terkaya dan kelompok lainnya di Indonesia telah berkembang lebih cepat daripada di negara lain di Asia Tenggara. Ini bisa terjadi dengan melihat negara menjalankan konsep pengelolaan sumber daya alam (SDA).
“Konsep perijinan pertambangan dan konsep perijinan konsesi lahan yang diberikan negara kepada swasta, sangat tidak sepadan dengan SDA yang dikuras habis oleh mereka. Contoh konkretnya, sebuah perusahaan tambang swasta hanya perlu bermodal selembar Ijin Usaha Produksi atau IUP,” tandasnya.
Menguasai
IUP yang diurus dengan biaya murah itu, sudah bisa menguasai ratusan hektar wilayah yang di dalamnya terdapat ratusan juta kubik ton mineral. Lalu, perusahaan tersebut listing di bursa saham dan menawarkan kepada dunia bahwa mereka memiliki ratusan juta kubik mineral berharga.
“Yang terjadi kemudian, mereka mendapat dana cepat dari proses ijon di depan dari para pembeli saham di lantai bursa. Lalu, negara hanya mendapat royalti dan bea ekspor yang masuk ke kas negara yang disebut Pendapatan Negara Bukan Pajak atau PNBP,” tegasnya.
Namun, royalty yang diterima negara jumlahnya tidak seberapa. Pada tahun 2020 lalu, Kementerian ESDM mencatat uang yang masuk ke negara dari pertambangan mineral dalam setahun sebesar Rp 35 triliun.
“Padahal, yang disebut pertambangan mineral itu mencakup batubara, nikel, bijih nikel, emas, perak, timah, tembaga, granit dan lain-lain. Bukankah itu bisa menghasilkan ratusan triliun? Jadi siapa yang makmur kalau begitu,” ucapnya balik bertanya.
Tentu saja perusahaan-perusahaan itu. Yang mana orangnya itu-itu saja dan dekat dengan lingkar kekuasaan. Begitu juga dengan pendapatan negara dari perkebunan sawit.
“Negara telah memberikan ijin konsesi lahan sekitar 16 juta hektar. Yang sebagian besar dinikmati oleh tidak lebih dari enam perusahaan besar konglomerasi sawit di Indonesia,” tuturnya.
Dari catatan yang ada, pada tahun 2020 pendapatan negara dari perusahaan sawit sekitar Rp 20 triliun. Padahal, devisa ekspor perusahaan-perusahaan sawit tersebut yang tercatat di Bank Indonesia mencapai angka di kisaran Rp 350 triliun dalam setahun,” ungkapnya.