Kesenjangan wacana antara publik dengan elit, semakin jauh. Dimana publik sudah tidak menginginkan adanya perpanjangan masa jabatan maupun penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Tangkapan layar Peneliti Litbang Kompas Yohan Wahyu dalam diskusi Gelora Talk bertema Heboh Gonjang Ganjing Tunda Pemilu: Apa Kata Survei, Rabu (23/3). (Foto: Sakti)
“Ini semacam orkestrasi, yang dibangun untuk mempengaruhi opini publik. Saat yang hampir bersamaan juga bermunculan baliho dukungan untuk tiga periode,” kata Peneliti Litbang Kompas Yohan Wahyu dalam diskusi Gelora Talk bertema Heboh Gonjang Ganjing Tunda Pemilu: Apa Kata Survei, Rabu (23/3).
Orkestrasi itu dimulai dari Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia, yang di awal tahun menyampaikan wacana penundaan. Sebulan kemudian, giliran Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa/Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar.
“Lalu, giliran Ketua Umum Partai Golkar/Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, disusul Ketua Umum Partai Amanat Nasional/Wakil Ketua MPR RI Zulkifli Hasan. Termasuk juga klaim dari Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan,” ujarnya.
Polemik masih berlanjut dengan beredarnya surat undangan Menko Polhukam kepada KPU di Kalimantan untuk rapat koordinasi terkait isu pemunduran pemilu. Hal itu menunjukkan bahwa orkestrasi masih berlanjut.
“Mengapa yang disampaikan oleh ketua-ketua umum partai politik tidak sesuai aspirasi pemilihnya? Lalu, aspirasi siapa yang sedang disuarakan,” tandasnya balik bertanya.
Lambatnya respon Presiden Joko Widodo terhadap wacana penundaan pemilu 2024, juga membuat tingkat kepuasan responden hanya 55,5 persen dan tidak terlalu solid. Hal ini berbeda dengan respon Jokowi pada April 2021, saat ada wacana masa jabatan tiga periode.
“Penolakan presiden agak berbeda dengan pernyataan setahun yang lalu soal wacana tiga periode. Pak Jokowi langsung merespon dengan mengatakan usulan itu untuk mencari muka,” tegasnya.
Saat itu, Jokowi mengatakan, wacana tiga periode menampar mukanya dan menjerumuskan. Namun kali ini, respon presiden yang agak lama membuat angka kepuasan terhadap pernyataannya tidak terlalu solid.
“Jadi, angan-angan tiga periode bukan wacana baru. Hanya modifikasi dari wacana tiga periode menjadi penundaan pemilu, yang ujung-ujungnya adalah penambahan masa jabatan,” tukasnya.