DPD RI akan menghalangi semua upaya untuk menunda pemilu.
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. (Foto: Bagian Pemberitaan dan Media DPD RI)
“Saya duduk di sini karena dipilih rakyat. Saya tidak ada urusan dengan kepentingan oligarki,” kata Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. Menurutnya, meski jumlah anggota DPD tidak signifikan untuk menghadang bila partai politik kompak, namun keputusan perubahan pasal dalam amandemen harus diputuskan dalam sidang MPR.
Sedangkan MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD. “Pertanyaan saya, jika tidak ada anggota DPD di dalam sidang tersebut, apakah masih bisa disebut sebagai sidang MPR,” ujarnya.
Kalaupun ada upaya dalam amandemen tersebut untuk memasukkan agenda perpanjangan masa jabatan presiden atau perubahan isi pasal yang memungkinkan pemilu dapat ditunda, lanjutnya, maka dirinya memastikan akan menyampaikan secara terbuka kepada rakyat.
“Dimana ada selundupan pasal seperti ini. Yang menyelundupkan si A dan si B. Saya akan sampaikan terbuka saja. Tidak ada masalah untuk saya. Ini demi kepentingan rakyat dan bangsa,” tandasnya.
Oleh karena itu, dia menyebut lembaganya sudah membuat tata tertib, bahwa keputusan Sidang Paripurna DPD RI bersifat mengikat. Termasuk agenda dan kepentingan DPD RI dalam amandemen ke-5 akan diputuskan di Sidang Paripurna.
“Sebab, dalam amandemen ke-5 nanti, jika memang terjadi, DPD RI akan mendorong penguatan fungsi dan peran DPD RI sebagai wakil dari daerah. Sekaligus wakil dari unsur non-partisan dan non partai politik. Karena arah perjalanan bangsa ini tidak bisa kita serahkan total kepada partai politik saja,” tegasnya.
Big Data
Dia menambahkan, belum lama ini Menko Maritim dan Investasi Luhut B. Pandjaitan mengatakan puluhan juta orang menghendaki pemilu ditunda berdasarkan Big data. Namun, LaNyalla membantahnya melalui data yang diperoleh dari Big Data.
“Karena kami di DPD RI juga menggunakan mesin Big Data sebagai bacaan persoalan-persoalan yang ada di daerah. Jadi kalau saya lihat, upaya-upaya yang dilontarkan melalui pernyataan-pernyataan - baik itu dari ketua partai maupun dari Pak Luhut - sebenarnya adalah agenda setting untuk membentuk persepsi publik,” ucapnya.
Sekaligus membentuk opini di masyarakat, bahwa penundaan pemilu memang pantas untuk dilakukan. Menurutnya hal ini hampir mirip dengan lembaga-lembaga survei, yang merilis hasil survei untuk membentuk persepsi publik atau agenda setting.
“Bahwa seolah-olah Si A atau Si B mendapat dukungan kuat, sementara Si C dan Si D tidak memiliki elektabilitas. Nyatanya memang ada lembaga survey yang bisa dipesan untuk melakukan itu,” tuturnya.
Dikatakan, persoalan penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden harus ditolak dengan menggunakan kerangka berpikir seorang negarawan. Bahwa penolakan itu adalah prinsip yang dikehendaki bangsa ini.
“Dimana bangsa ini sudah sepakat bahwa masa jabatan presiden hanya 5 tahun dan maksimal 2 periode, bukan 3 atau 4 periode. Selain itu, pemilu adalah mekanisme evaluasi yang diberikan kepada rakyat setiap 5 tahun sekali, bukan 7 tahun atau 8 tahun,” tukasnya.
Sehingga meskipun konstitusi bisa diubah, bangsa ini telah belajar dari dua orde. Di mana masa jabatan presiden tidak dibatasi.