Pemerintah mesti dapat memanfaatkan penggunaan sumberdaya dalam negeri, untuk memenuhi kebutuhan pangan dan bahan baku yang terkait dengan energi dalam negeri.
Anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuairina. (Foto: Biro Protokol dan Humas DPR RI)
“Hal itu sebagai upaya mengurangi ketergantungan terhadap impor. Dimana nilai impor minyak goreng negara sangat tinggi, padahal Indonesia termasuk produsen minyak goreng terbesar di dunia,” kata anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuairina, Rabu (9/3).
Menurutnya, data menunjukkan, pada tahun lalu importasi minyak goreng mencapai 93,3 juta dolar AS atau Rp 1,34 triliun (kurs Rp14.408 per dolar AS). Nilai ini naik 38,34 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
“Secara rinci impor minyak goreng berasal dari lima negara utama. Terbesar dari negara tetangga Malaysia sebanyak 19,26 juta dan kemudian disusul dari negara Thailand sebanyak 16,5 juta kilogram,” ujarnya.
Selanjutnya impor berasal dari Australia dengan volume sebanyak 6 juta kg, serta dari Spanyol sebanyak 1,3 juta kg dan dari Italia sebanyak 1,29 juta kg. Pada Januari 2022, impor minyak goreng nabati tercatat sebanyak 4,42 juta kg.
“Jumlah ini naik 4,37 persen dibandingkan Januari 2021 sebanyak 4,23 juta kg, setara dengan 8,2 juta dolar AS atau naik 42,29 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Karenanya, pemerintah harus mengawasi distribusi kebutuhan bahan pokok seperti minyak goreng,” tandasnya.
Sehingga tidak terjadi penimbunan yang bisa mengakibatkan lonjakan harga. Pada jangka panjang, Alternatif sumber pangan lokal harus mulai dibangun dengan mengupayakan substitusi. Sebab, Indonesia memiliki keanekaragaman komoditas pangan yang sejatinya bisa dimanfaatkan.