Masyarakat disarankan untuk mengurangi penggunaan minyak goreng sawit, sebagai bahan pengolahan makanan. Hal itu mengingat semakin langka dan mahalnya harga minyak goreng di pasaran, hingga menyebabkan inflasi.
Wakil Ketua DPD RI Sultan B Najamudin. (Foto: Biro Protokol, Humas dan Media DPD RI)
“Hal paling positif dari masalah kelangkaan minyak goreng adalah tentang pola konsumsi masyarakat yang menjadi lebih sehat. Artinya pengurangan konsumsi minyak goreng harian secara signifikan akan memberikan dampak kesehatan yang lebih baik,” kata Wakil Ketua DPD RI Sultan B Najamudin, Sabtu (12/2).
Menurutnya, masyarakat perlu beradaptasi dengan pola makan sehat yang menggunakan minyak goreng secara lebih proposional. Sehingga, permintaan dan penggunaannya bisa seimbang dengan stok yang tersedia.
“Hal itu bisa menjadi kebijaksanaan yang patut dipahami masyarakat. Budaya konsumsi masyarakat kita yang cenderung menggunakan minyak secara berlebihan, harus mulai diubah,” ujarnya.
Dia menambahkan, hal itu merupakan salah satu cara berhemat yang elegan untuk mengendalikan gejolak Inflasi. Dan tentu saja menyehatkan tubuh. Sebab, konsumsi minyak goreng yang tinggi, menyebabkan pasar dalam negeri menjadi semakin prospek bagi industri minyak sawit.
“Selain itu, penghematan dalam penggunaan minyak sawit sedikit banyak akan berdampak pada penurunan deforestasi akibat konversi hutan menjadi lahan sawit. Ini akan menjadi taktik yang efektif untuk melawan ekspansi bisnis sawit di Indonesia,” tandasnya.
Fenomena CPO yang mahal juga perlu dimaknai sebagai upaya untuk mengkonsumsi minyak goreng dari sumber selain sawit. Diketahui, Harga minyak goreng tengah melonjak drastis.
Dalam waktu relatif bersamaan, para produsen kompak menaikkan harga dengan dalih menyesuaikan dengan harga minyak sawit (CPO) di pasar global. Selama kurun waktu empat bulan lebih, lonjakan harga minyak goreng di dalam negeri melesat tanpa kendali. Sejak dua bulan terakhir, minyak goreng juga berkontribusi besar terhadap inflasi.