Anggota Komisi VI DPR RI Elly Rachmat Yasin mengingatkan, kebijakan satu harga pada minyak goreng (migor) tidak berjalan serentak di seluruh Indonesia.
Anggota Komisi VI DPR RI Elly Rachmat Yasin. (Foto: Biro Protokol dan Humas DPR RI)
“Karenanya, saya mengusulkan untuk meningkatkan produksi minyak nabati dalam negeri. Pasalnya, harga migor sangat fluktuatif sejak akhir tahun 2021 hingga kini,” katanya.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan mengambil kebijakan penetapan satu harga migor, yaitu sebesar Rp 14.000. Namun kebijakan tersebut dianggap gagal untuk menjaga stabilitas ketersediaan dan harga migor di pasar.
Setelahnya, Kemendag juga mengeluarkan aturan baru, yaitu Permendag Nomor 6 Tahun 2022 yang menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk minyak goreng mulai Rp 11.500. Elly menambahkan, meningkatnya kebutuhan dalam negeri juga harus disertai peningkatan jumlah pelaku usaha di industri migor.
“Hal itu agar industri migor tidak hanya terkonsentrasi pada pelaku usaha yang terbatas,” ujarnya. Sedangkan anggota Komisi VI DPR RI Mufti A.N. Anam menilai, kebijakan Kemendag guna mengatasi lonjakan harga dan kelangkaan migor gagal total.
“Sebab, harga migor di berbagai daerah masih belum sesuai yang disampaikan pemerintah, yakni Rp 14.000 per liter. Kami menilai bahwa kebijakan yang diambil Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi masih gagal total,” tandasnya.
Sulit Ditemui
Kemendag sebelumnya telah menerapkan kebijakan satu harga migor Rp 14.000 per liter, baik ke pasar maupun ke ritel modern yang berlaku di seluruh Indonesia. Namun, kebijakan yang sudah berlaku sejak 19 Januari lalu masih sulit ditemui di masyarakat.
“Kami beberapa hari kemarin turun ke lapangan, karena ingin memastikan betul bahwa apakah migor Rp14.000 itu betul-betul ada di lapangan. Kenyataannya, di pasar besar atau di pusat grosir harga migor masih Rp 18.000,” tegasnya.
Karenanya, dia meminta kebijakan Kemendag jangan hanya sekadar pencitraan. Karena menurutnya, keluhan yang disampaikan tersebut merupakan bentuk tangisan rakyat. Dimana konstituen bilang, untuk berjualan gorengan seharga Rp 1.000 saja, uangnya tidak cukup untuk membeli migor.
“Kalau dinaikkan harganya menjadi Rp1.250, tidak akan ada yang membeli gorengannya. Meski demikian, saya mengapresiasi kebijakan satu harga migor. Perlu ada kontrol yang terukur dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut,” tuturnya.
Kontrol tersebut diantaranya mencakup sanksi bagi produsen yang tidak mengikuti kebijakan. Karenanya, dia meminta dalam seminggu ke depan disampaikan kepada Komisi VI. “Berapa jumlah toko yang melanggar, jumlah produsen yang melanggar kebijakan, dan apa langkah yang akan diambil,” tukasnya.