Proses Legislasi Ugal-ugalan Buat Demokrasi Cacat

Proses legislasi yang ugal-ugalan, akan membuat demokrasi menjadi cacat. Antara lain dapat dilihat dari sejumlah produk Undang-Undang (UU) yang dihasilkan.

Proses Legislasi Ugal-ugalan Buat Demokrasi Cacat

Tangkapan layar diskusi virtual Gelora Talk bertema Penguatan Lembaga DPD RI, Masih Perlukah, Rabu (26/1). (Foto: Sakti)

Wowsiap.com - Cendekiawan muslim Azyumardi Azra mengatakan, proses legislasi yang ugal-ugalan akan membuat demokrasi menjadi cacat. Antara lain dapat dilihat dari sejumlah produk Undang-Undang (UU) yang dihasilkan.

“Antara Lain UU Mineral dan Batubara, UU Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Cipta Kerja hingga UU Ibu Kota Negara yang tidak memenuhi prosedur proses legislasi,” katanya dalam diskusi Gelora Talk bertema Penguatan Lembaga DPD RI, Masih Perlukah, Rabu (26/1).

Menurutnya, masyarakat nampaknya sulit mengharapkan perubahan dari sisa masa jabatan Presiden Joko Widodo, yang tinggal 2,5 tahun lagi. Sebab, oligarki politik dan bisnis yang ada di sekitar kekuasaan.

“Kita berharap presiden konsisten memenuhi ucapannya untuk tidak lagi mau dicalonkan kembali untuk yang ketiga kalinya. Sebab, banyak pihak yang merasa Pak Jokowi diperpanjang masa jabatannya, meski tanggal Pemilihan Umum sudah diketok,” ujarnya.

Sebab, bukan tidak mungkin untuk mengubah hal itu. Salah satunya dengan mengamandemen UUD Negara Republik Indonesia 1945. Sehingga dapat memberikan peluang kepada Jokowi untuk menambah masa jabatannya.

“Hal itu bisa terjadi, karena masih ada waktu sekitar dua tahun dan bukan tidak mungkin terjadi hal yang tidak diduga sebelumnya. Misalnya, MPR RI mengadakan sidang dan menambah masa jabatan presiden atau presiden dapat dipilih menjadi tiga kali,” tandasnya. 

Kecil harapan aka nada perlawanan. Terlebih, selama ini masyarakat sipil, ormas, mahasiswa dan kampus diam melihat hal itu semua. Sementara Wakil Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah menegaskan, yang hilang dan sebenarnya dibutuhkan adalah fatsoen politik.

Masalahnya, kata Hurriyah, politisi tidak lagi malu dalam memperlihatkan hasrat politik dan menggunakan cara-cara legal, formal hingga Machiavellian, untuk mencapainya. Bahkan untuk mencapai itu, mereka mengatasnamakan rakyat.

“Komitmen untuk memperjuangkan rakyat seharusnya bisa dilihat sepanjang masa para politisi itu bekerja sebagai representasi politik. Lalu, sejauhmana mereka konsisten menyuarakan apa yang menjadi kehendak dan kepentingan rakyat,” tegasnya.

Kritikan
Dimana banyak isu yang mendapat kritikan tajam dari publik, namun politisi tetap jalan terus. Antara lain dengan tetap mengesahkan UU Ciptaker, UU KPK, UU IKN dan sebagainya.

“Untuk mengecek sejauhmana DPR dan DPD memperjuangkan kepentingan rakyat, dapat dilihat. Apakah selama ini mereka konsisten? Jangan-jangan ini hanya berbasis keinginan politik sesaat, seperti ingin maju jadi calon presiden,” tuturnya.

Sehingga jangan heran bila publik punya ketidakpercayaan dan pesimisme terhadap penguatan kelembagaan politik. Adapun Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah mengatakan, Indonesia terlalu besar dan sulit untuk disederhanakan.

“Sehingga bila hanya memiliki satu kamar, maka justru akan mengalami kesulitan tersendiri. Karena harus mengelola begitu banyak sumber-sumber representasi,” ucapnya. 

Sehingga, keberadaan DPD sudah tepat, kecuali bila ada pihak yang ingin Indonesia menjadi negara federal dan bukan kesatuan. Sehingga, lebih baik bila memperkuat otonomi daerah dan memperkuat DPD.

Sementara Wakil Ketua DPD Sultan B Najamudin menjelaskan, bangsa Indonesia memiliki peluang untuk menjadi negara besar. Namun, tantangannya juga tak kalah hebatnya.

“Sehingga bila salah atur dalam pengelolaan, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan mengalami hal yang tidak diinginkan. Masih ada waktu untuk meluruskan,” tukasnya. 
 

demokrasi cacat politik rakyat negara