Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, Indonesia memiliki tingkat heterogenitas yang sangat tinggi, dengan 1.340 suku, 733 bahasa, 6 agama, dan puluhan aliran kepercayaan.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo. (Bagian Pemberitaan MPR RI)
“Tingginya tingkat kemajemukan ini di satu sisi menempatkan kita dalam posisi rentan terhadap ancaman perpecahan,” kata Ketua MPR RI Bambang Soesatyo dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR RI yang dihadiri para penglisir (Raja) Puri se-Bali di Puri Ageng Blahbatuh, Gianyar, Bali, Senin (18/7).
Menurutnya, jika tidak disikapi dengan bijaksana, kesalahan dalam mengelola kemajemukan dapat berujung pada lunturnya kohesi kebangsaan. Dimana hal itu dapat bermuara pada disintegrasi bangsa.
“Jika merujuk pada konstitusi, amanat untuk membangun ketahanan budaya memiliki landasan yuridis yang sangat fundamental. Khususnya pada pasal 32 UUD NRI 1945,” ujarnya.
Setidaknya, kata dia, menyiratkan dua prinsip dasar. Pertama, penegasan tentang pengakuan dan penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional oleh negara.
“Kedua, amanat kepada negara untuk menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Dalam konteks pemajuan kebudayaan, globalisasi seharusnya tidak semata-mata dipandang sebagai ancaman,” tandasnya.
Tetapi, justru harus kita manfaatkan sebagai peluang bagi budaya Indonesia untuk dapat memberi kontribusi terhadap pembentukan peradaban dunia. Keragaman budaya dapat dimaknai sebagai kekayaan yang justru saling melengkapi satu sama lain.
“Meskipun bangsa Indonesia memilih bentuk negara kesatuan, tidak lantas dimaknai bahwa keragaman budaya tersebut harus diseragamkan. Akan tetapi diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang sebagai khazanah kekayaan bangsa,” tegasnya.
Kebersamaan
Dengan demikian, kata dia, prinsip dan visi kebangsaan yang kita bangun harus mampu mempertemukan kemajemukan dan ketahanan budaya dalam semangat kebersamaan. Paradigma inilah yang dibangun oleh Puri Ageng Blahbatuh, yang memprakarsai untuk menghadirkan narasi-narasi kebangsaan dengan melibatkan tokoh-tokoh dan lembaga lembaga adat, melalui kegiatan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI.
“Ancaman terhadap eksistensi budaya bangsa, tidak hanya disebabkan oleh faktor eksternal. Dari faktor internal, kurangnya upaya untuk secara intens dan serius menghadirkan diskursus kebudayaan, turut menjadi penyebab 'menjauhnya' kebudayaan dari ruang publik,” jelasnya.
Dimana Indonesia pernah memiliki pengalaman tidak menyenangkan ketika budaya asli coba diakui sebagai budaya milik negara lain. Antara lain alat musik Sasando dari Nusa Tenggara Timur, wayang kulit dan batik dari Jawa Tengah, lagu Rasa Sayange dari Maluku, angklung dari Jawa Barat, makanan Rendang dari Sumatera Barat.
“Termasuk juga Tari Pendet dari Bali. Dalam konteks inilah, keberadaan lembaga adat seperti halnya puri-puri di Bali, memiliki kontribusi penting sebagai pusat pengembangan kebudayaan daerah, sekaligus sebagai benteng ketahanan dan kedaulatan budaya nasional,” tukasnya.