Pemerintah diminta untuk lebih cermat dalam mengatur keuangan negara. Hal itu agar tidak terancam bangkrut seperti Sri Langka.
Ketua Bidang Kebijakan Publik Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Achmad Nur Hidayat. (Gelora Media Center)
“Sebab, paska kerusuhan di Sri Lanka pada Senin (11/7), sejumlah negara di dunia juga terancam bangkrut. Antara lain tetangga Indonesia seperti Laos dan Myanmar, bahkan hingga Argentina juga terancam bangkrut,” kata Ketua Bidang Kebijakan Publik Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Achmad Nur Hidayat di Jakarta, (12/7).
Menurutnya, Indonesia dan dunia harus belajar dari apa yang terjadi di Sri Lanka. Apalagi, saat ini hutang Indonesia per Februari 2022 sudah lebih dari Rp 7.000 triliun.
“Angka tersebut sekitar lebih dari 40 persen PDB Indonesia. Melihat angka ini, maka penggalian utang berikutnya akan mengancam Indonesia terperosok kepada krisis seperti yang terjadi di Sri Lanka,” ujarnya.
Apalagi, utang didominasi karena agresivitas pemerintah membiayai infrastruktur. Selain tol, pemerintah juga agresif dalam membangun Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
“Dimana sampai saat ini belum ada investor besar yang bersedia membiayai setelah mundurnya Softbank dan konsorsiumnya dari pembangunan IKN. Indonesia harus bijak melakukan spending,” tandasnya.
Rendah
Dia menegaskan, spending pembangunan infrastruktur nilai manfaat ekonominya sangat rendah bagi PDB Indonesia. Berkaca dari kekacauan yang terjadi di Sri Lanka, Indonesia harus mengalihkan anggaran-anggaran yang ada kepada proyek-proyek yang dapat menciptakan kemandirian pangan dan energi.
“Sehingga Indonesia mempunyai ketahanan dalam menghadapi krisis pangan dan energi yang beresiko menciptakan krisis yang besar. Proyek seperti kereta api cepat dan pembangunan IKN menyerap anggaran yang sangat besar, tapi mempunyai manfaat ekonomi yang rendah,” tegasnya.
Jadi, kata dia, Indonesia harus belajar dari apa yang terjadi di Srilanka. Apalagi kondisi negara sedang tidak baik-baik saja. Masyarakat masih menderita dengan kenaikan-kenaikan harga.
“Pelajaran Sri Lanka dari pandemi menuju negara gagal, harus menjadi perhatian serius Presiden Joko Widodo. Khususnya apabila Indonesia tidak ingin bernasib sama seperti Sri Lanka,” ucapnya.
Meski IMF sudah ada komitmen melakukan bailout terhadap sebagian utang Sri Lanka. Namun ketidaksabaran rakyat yang sudah menderita kenaikan harga sejak Januari 2022, membuat komitmen perbaikan ekonomi sia-sia.
“Ini bisa saja terjadi di Indonesia. Saat ini, Sri Lanka tergantung seberapa smooth dan cepat proses transisi politik. Bila transisi kepemimpinan politik macet, maka Sri Lanka akan menanggung resiko yang lebih besar lagi di masa depan,” jelasnya.
Gagal
Tidak hanya ekonomi yang suram, masa depan negara Sri Lanka juga memiliki resiko tinggi untuk menjadi negara gagal. Hal ini harus menjadi perhatian Presiden Jokowi, agar Indonesia tidak menjadi negara gagal seperti Sri Lanka.
“Sebelum pandemi, Sri Lanka sangat agresif dalam pembangunan infrastruktur. Terutama infrastruktur pelabuhan yang mayoritas dibiayai oleh China. Yakni dengan total pinjamannya ke Beijing mencapai $ 8 miliar dolar AS atau setara Rp 114,400 triliun,” tuturnya.
Atas kebijakan ini, rakyat Sri Langka menyalahkan pemerintahannya yang telah melakukan kesalahan dalam pengelolaan keuangan negara. Hal ini tentunya menjadi pelajaran penting bagi negara-negara lain.
“Agar berhati-hati dalam membuat kebijakan anggaran negara. Menciptakan kemandirian terutama kemandirian dalam pangan dan energi,” tukasnya.
Seperti diketahui, pada kerusuhan kemaren, Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa dikabarkan berupaya kabur ke luar negeri. Hal itu usai kediamannya digeruduk ribuan massa yang mendesaknya mundur.