Dengan diterimanya laporan Badan Pengkajian MPR, maka tidak perlu lagi ada kekhawatiran bahwa MPR RI pada periode ini akan melakukan Amandemen UUD NRI 1945.
Pimpinan MPR RI bersama Badan Pengkajian MPR RI. (Bagian Pemberitaan MPR RI)
“Dengan demikian, MPR RI periode 2019-2024 telah menyelesaikan kajian PPHN, sebagaimana direkomendasikan MPR RI periode 2009-2014 dan MPR RI periode 2014-2019,” kata Ketua MPR RI Bambang Soesatyo usai Rapim MPR RI bersama Badan Pengkajian MPR RI di Gedung MPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (7/7).
Menurutnya, melalui Badan Pengkajian, MPR RI periode 2019-2024 juga telah memiliki terobosan hukum menghadirkan PPHN. Yakni tanpa harus melakukan amandemen konstitusi UUD NRI 1945.
“Melainkan dengan Konvensi Ketatanegaraan. Sebagaimana pernah terjadi dalam menentukan penyelenggaraan Sidang Tahunan MPR, yang tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar dan tidak pula dimandatkan oleh Undang-Undang,” ujarnya.
Akan tetapi mengingat urgensinya dapat diterima, maka akhirnya menjadi Konvensi Ketatanegaraan. Untuk menuju Konvensi Ketatanegaraan, Rancangan PPHN yang diusulkan Badan Pengkajian MPR RI tersebut terlebih dahulu akan diteruskan oleh Pimpinan MPR RI kepada pimpinan Fraksi dan Kelompok DPD.
“Hal itu untuk menjadi bahan pembahasan di Rapat Gabungan Antara Pimpinan MPR RI dengan Pimpinan Fraksi dan Kelompok DPD,” tandasnya.
Diusulkan
Rencananya, Rapat Gabungan tersebut akan diselenggarakan pada 21 Juli 2022. Jika Rapat Gabungan dapat menerima rancangan bentuk hukum PPHN yang diusulkan Badan Pengkajian, selanjutnya MPR RI akan membentuk Panitia Ad Hoc (PAH).
“Yang akan diputuskan dan ditetapkan dalam Sidang Paripurna MPR RI yang rencananya diselenggarakan pada 16 Agustus 2022. Panitia Ad Hoc (PAH) akan bertugas mencari pintu masuk Konvensi Ketatanegaraan,” tegasnya.
Hal itu agar MPR RI bersama delapan pimpinan lembaga tinggi negara lainnya mulai dari Lembaga Kepresidenan, DPR RI, DPD RI, BPK, MA, MK, BPK, dan KY, bisa bersepakat menghadirkan PPHN, tanpa harus mengamandemen konstitusi.
“Disisi lain, dengan dipastikan tidak adanya amandemen konstitusi pada MPR RI periode 2019-2024, diharapkan situasi dan kondusivitas politik menjelang Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 bisa tetap terjaga dengan baik,” ucapnya.
Dikatakan, dengan diatur keberadaan PPHN melalui konvensi ketatanegaraan, maka posisi hukum PPHN sangat kuat. Hal itu karena berada dibawah UUD NRI 1945 serta berada diatas Undang-Undang.
“Salah satu dasar hukum keberadaan PPHN di bawah UUD NRI 1945 dan di atas UU antara lain terdapat dalam Pasal 99 dan Pasal 100 Peraturan MPR Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib. Didalamnya diatur jenis Keputusan MPR, satu diantaranya yakni Ketetapan MPR yang berisi pengaturan dan memiliki kekuatan hukum mengikat ke dalam dan ke luar MPR,” jelasnya.
Direktif
Pemilihan bentuk hukum Ketetapan MPR RI dilakukan karena PPHN mengandung prinsip-prinsip direktif (arahan), maka tidak tepat jika diatur dalam bentuk hukum Undang-Undang. Selain itu, PPHN juga tidak dimaksudkan untuk menggantikan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).
“Akan tetapi justru menjadi rujukan bagi penyusunan RPJPN yang lebih bersifat teknokratis. Sekaligus menjadi rujukan visi dan misi calon presiden-wakil presiden, sehingga PPHN menjamin kesinambungan program pembangunan dari satu periode pemerintahan ke periode penggantinya,” tukasnya.
Turut hadir para Wakil Ketua MPR RI antara lain Ahmad Basarah, Lestari Moerdijat, Jazilul Fawaid, Syarief Hasan, Hidayat Nur Wahid dan Arsul Sani.
Sementara Pimpinan Badan Pengkajian MPR RI yang hadir antara lain Ketua Djarot Saiful Hidayat, dan para Wakil Ketua Agun Gunandjar Sudarsa, Benny K Harman, Tifatul Sembiring, dan Tamsil Linrung. Hadir pula anggota Badan Pengkajian MPR RI Rieke Diah Pitaloka.