Pemerintah diminta melakukan eradikasi (pemberantasan) peran dan pengaruh mafia minyak goreng berbasis wilayah.
Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR RI Mulyanto. (Biro Pemberitaan DPR RI)
“Pemerintah harus berani membuat kebijakan tegas menyeluruh tetapi berbasis wilayah. Sebuah kebijakan yang memadukan pendekatan industri, tata niaga dan pengawasan,” kata Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR RI Mulyanto, Senin (30/5).
Menurutnya, gerakan eradikasi mafia minyak goreng harus dilakukan dengan memetakan secara spasial daerah-daerah rawan minyak goreng. Kemudian memberantasnya secara bertahap.
“Dengan strategi ikan busuk, yakni memulainya dari kepala. Karena ikan membusuk dimulai dari kepala,” ujarnya.
Hal itu menurutnya penting, karena selama ini kebijakan migor yang ada dan gagal, terkesan bersifat parsial dan sektoral. Padahal, masyarakat tidak ingin masalah minyak goreng berlarut-larut terus.
“Dengan menggunakan pendekatan wilayah dari data produksi, konsumsi dan harga, maka setiap daerah dapat terpetakan menjadi daerah yang paling rawan (merah). Antara lain seperti Jambi, DKI Jakarta dan Kalimantan Selatan,” tandasnya.
Kemudian menyusul daerah yang rawan (kuning) adalah Sumatera Utara, Riau dan Jawa Barat. Satu demi satu, setahap demi setahap, daerah-daerah tersebut harus dibebaskan dari cengkeraman mafia minyak goreng.
“Suatu daerah disebut paling rawan atau rawan mafia minyak goreng, karena tingkat potensi ketersediaan minyak goreng di daerah tersebut tinggi. Namun di lapangan justru harga minyak gorengnya jauh di atas harga eceran tertingggi (HET),” tegasnya.
Kontradiktif
Hal itu tentu kontradiktif. Misalnya Jambi, kapasitas produksi minyak gorengnya lebih dari 20 kali lipat dibanding jumlah konsumsinya. Namun harga minyak goreng di sana masih bertengger di angka Rp. 18.000 per kilogram.
“Padahal daerah sekelasnya, yakni Sumatera Barat, harga minyak goreng sudah Rp 15.600 per kilogram. DKI Jakarta, kapasitas produksi minyak goreng 7 kali lipat dibanding jumlah konsumsinya. Harga minyak goreng di DKI masih sebesar Rp 19.850 per kilogram,” jelasnya.
Padahal Banten dan Jawa Barat, yang merupakan wilayah produksi minyak goreng yang sama, memiliki harga minyak goreng curah masing-masing sebesar Rp 16.750 dan Rp 18.400 per kilogram. Bandingkan dengan NTB, yang tidak memiliki kapasitas produksi, namun harga minyak goreng curahnya Rp 19.750. Sedikit di bawah harga minyak goreng curah di DKI.
“Sementara Kalimantan Selatan dengan kapasitas produksi minyak goreng 10x lipat dibanding jumlah konsumsinya. Namun harga minyak goreng curah di sana masih tinggi di angka Rp 18.600 per kilogram,” tuturnya.
Sementara daerah sekelasnya, yakni Kalimantan Barat, harga minyak goreng sudah Rp 15.600 pe kilogram. Kondisi itu memperlihatkan, bahwa potensialitas produksi minyak goreng yang tinggi, tidak menghasilkan aktualitas implikasi pada keberlimpahan dan keterjangkauan harga minyak goreng.
“Berarti ada persoalan di sisi distribusi,” tukasnya.