Program Migor Rakyat Kementerian Perdagangan dan Kementerian BUMN, dinilai justru mengkonfirmasi aneka kebijakan pengendalian harga minyak goreng terdahulu, sangat tidak efektif untuk diterapkan.
Wakil Ketua DPD RI Sultan B. Najamudin. (Bagian Pemberitaan dan Media DPD RI)
“Entah apa motivasinya, tapi program seperti ini tidak lebih hanya seperti peredam nyeri yang tidak berfungsi sebagai penyembuh penyakit,” kata Wakil Ketua DPD RI Sultan B. Najamudin di Jakarta, Selasa (17/5).
Seperti diketahui, Kemendag dan Kemen BUMN meluncurkan program tersebut sebagai upaya mengembalikan harga minyak goreng murah kepada masyarakat. Selain itu, sebagai solusi tingginya harga jual minyak goreng di pasaran saat ini.
“Kami menghargai upaya yang heroik dari kedua kementerian ini sebagai pilihan terakhir pemerintah. Khususnya untuk mengembalikan mood publik atas anomali harga minyak goreng,” ujarnya.
Di sisi lain, dalam suasana politik yang semakin memanas, program jual beli dengan harga murah seperti ini rawan ditafsirkan. Yakni sebagai upaya politis pihak tertentu untuk meraih simpati publik.
“Pemerintah sebaiknya fokus menyelesaikan pokok persoalan tata niaga sawit yang dikuasai oleh sedikit korporasi. Yakni dengan me-redistribusi lahan perkebunan sawit,” tandasnya.
Selain itu, memastikan pemenuhan kebutuhan minyak goreng dengan pengaturan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) yang seimbang. Dengan demikian, akan memungkinkan pemerintah dapat menyusun skema harga eceran tertinggi minyak goreng yang terjangkau seperti sedia kala.
“Pengaturan DMO akan memberikan dampak sosial ekonomi yang bisa dirasakan secara sistematis dan masif, baik petani maupun konsumen,” tegasnya.
Seperti diberitakan, Kemendag dan Kemen BUMN bersinergi dengan pelaku usaha minyak goreng dan meluncurkan Program Migor Rakyat. Program itu bertujuan, agar penjualan minyak goreng curah dengan harga Rp 14.000/liter dapat tepat sasaran, yaitu untuk masyarakat berpendapatan rendah.