Masih adanya wilayah yang belum memperoleh layanan informasi dan teknologi, menjadi permasalahan dan tantangan dari implementasi pembangunan digitalisasi di Indonesia.
Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Suhajar Diantoro usai rapat kerja dengan Panitia Perancang Undang-Undang DPD RI di Ruang GBHN, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (23/3). (Foto: Bagian Pemberitaan dan Media DPD RI)
“Kemudian, sekitar 44,3 persen penduduk Indonesia masih hidup di pedesaan dengan tingkat spasial ekonomi yang berbeda,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Suhajar Diantoro dalam rapat kerja dengan Panitia Perancang Undang-Undang DPD RI di Ruang GBHN, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (23/3).
Menurutnya, penerapan kebijakan pemerintahan digital di Indonesia ini sifatnya urgen. Dimana sasarannya adalah pemenuhan kebutuhan akan keterbukaan akses informasi bagi publik.
“Selain itu juga terkelolanya komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat dengan baik. Lalu, tersedianya data yang up to date dan akurat sebagai dasar pengambilan kebijakan,” ujarnya.
Kemudian, adanya jaminan keamanan dan terwujudnya efektivitas dan efisiensi pengelolaan pemerintahan yang baik. Dia menambahkan, sebanyak 425 daerah dan 34 kementerian telah menerapkan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE).
“Kebijakan eksisting digitalisasi sistem pemerintahan melalui SPBE, mengatur mulai dari tata kelola sistem. Selain itu manajemen sistem, audit sistem TIK, penyelenggaraan sistem, percepatan sistem dan pemantauan evaluasi sistem,” tandasnya.
Adapun Ketua PPUU Badikenita br. Sitepu menegaskan, pemerintahan digital hendaknya tidak hanya terbatas pada soal tata kelola pemerintahan secara digital saja. Melainkan melingkupi Digital Governance, Digital Economy dan Digital Society.
“DPD RI sangat mengapresiasi langkah-langkah yang dilakukan oleh Kemendagri. Diharapkan dapat mempercepat upaya digitalisasi pemerintahan,” tegasnya. Sedangkan anggota PPUU DPD RI Abdul Hakim mempertanyakan tingkat akurasi dari program Satu Data Indonesia, yang tengah dikerjakan oleh pemerintah.
“Berapa persen akurasi Satu Data Indonesia yang dimiliki oleh pemerintah? Apakah bisa dipastikan tidak data duplikasi atau keterangan penduduk yang palsu atau fiktif? Pemerintah harus dapat memberikan jaminan akurasinya,” tukasnya.