Badan Urusan Logistik (Bulog) diharapkan menjelma menjadi Indonesia Trade Company. Tugasnya sebagai pengatur tata niaga komoditas pangan di Indonesia sekaligus mengantisipasi kelangkaan.
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. (Foto: Bagian Pemberitaan dan Media DPD RI)
“Kita masih menghadapi masalah yang sama, yaitu kenaikan harga komoditas sembako setiap menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Belakangan ini kita juga disibukkan dengan urusan hilangnya minyak goreng di pasaran,” kata Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Senin (21/3).
Hal itu disampaikannya saat memberikan keynote speech Diskusi Publik Indonesian Consumer Club dengan tema Antisipasi Kenaikan Bahan Pokok Penting Menjelang Bulan Suci Ramadhan dan Idul Fitri 1443 H. Menurutnya, sebelumnya juga sudah ada persoalan cabe rawit, kedelai dan lainnya
“Padahal, negara seharusnya hadir sesuai pemikiran para pendiri bangsa yang termaktub di Pasal 33 Ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945. Di situ tertulis jelas bahwa yang dimaksud dengan Perekonomian disusun atas usaha bersama atas dasar kekeluargaan adalah ekonomi dari semua untuk semua,” ujarnya.
Dia menambahkan, Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 merupakan pondasi sistem perekonomian nasional. Dimana sistem ekonomi yang dikembangkan seharusnya tidak berbasis persaingan serta atas asas yang sangat individualistic.
“Disusun artinya didesain dengan beleid aturan dan regulasi yang direncanakan dengan jelas. Sementara kata tersusun berarti dibiarkan tersusun dengan sendirinya, atau dengan kata lain diserahkan ke mekanisme pasar,” tandasnya.
Namun faktanya, kata dia, hari ini negara menyerahkan kepada mekanisme pasar. Sehingga rantai distribusi menjadi panjang dan tengkulak tetap saja mengambil untung.
“Belum lagi pemain impor komoditas yang kita tahu orangnya itu-itu saja. Ditambah dengan komoditas tersebut diatur melalui harga pasar Internasional,” tegasnya. Dia lalu mencontohkan kedelai yang masuk dalam salah satu komoditi yang diperdagangkan di bursa komoditi C.B.O.T. atau Chicago Board of Trade.
Intervensi
Sehingga otomatis harga akan tergantung pasar. Sesuai demand and supply. Karena sistem itu dibiarkan tersusun dengan sendirinya, maka pemerintah tidak bisa mengintervensi harga pasar.
“Yang bisa dilakukan hanya dengan mengatur tata niaga Impor kedelai itu. Agar produksi petani tidak jadi korban harga pasar. Minimal ongkos produksi bisa kembali. Tapi itu tidak mudah,” ucapnya.
Pemerintah juga kesulitan mengatur tata niaga, karena sudah sebegitu kokohnya mekanisme pasar, yang karena dibiarkan tersusun dan bukan disusun oleh negara.
“Padahal, demand kedelai begitu besar, baik untuk kebutuhan pangan maupun pakan ternak dan industri lainnya. Namun produksi nasional tidak pernah bisa mencukupi. Yang jadi pertanyaan lagi, mengapa tidak ada upaya serius pemerintah membenahi,” tuturnya balik bertanya.
Padahal, hal itu menyangkut uang puluhan triliun setahun dari impor. Fee yang tidak kecil. Katakanlah 20 dollar per ton, dan tinggal dihitung saja kalau kebutuhan 2 juta ton, berapa uang yang mengalir ke lingkaran mereka yang terlibat.
“Itu baru dari satu komoditas, kedelai. Bagaimana dengan sembilan komoditas lainnya? Oleh karena itulah, untuk membenahi persoalan tersebut Bulog harus diberi peran besar sebagai perusahaan negara yang mendapat tugas suci dan dibekali senjata yang cukup untuk melaksanakan perannya,” imbuh dia.
Dan bukan malah sebaliknya, diminta untuk menyerap produk dalam negeri, tetapi di sisi lain harus hidup sebagai sebuah sektor privat yang harus menghasilkan deviden. Bulog juga harus bisa menghapus pemain-pemain rente impor dan uang fee yang mengalir ke elit kekuasaan.
“Bulog harus bisa melakukan kontrak hedging di pasar future komoditas pangan, agar kita terhindar dari kerugian akibat kenaikan harga di pasar dunia,” tukasnya.