Kebijakan subsidi mengkonfirmasi bahwa keberadaan minyak goreng tidak benar-benar langka.
Wakil Ketua DPD RI Sultan B Najamudin. (Foto: Biro Protokol, Humas dan Media DPD RI)
“Kelangkaan minyak goreng di pasar negara penghasil CPO dan kelapa sawit terbesar dunia dan pemberian subsidi, merupakan kebijakan yang jelas patut dipertanyakan dan bisa disebut keliru,” kata Wakil Ketua DPD RI Sultan B Najamuddin, Rabu (16/3).
Seperti diketahui, pemerintah akhirnya memutuskan menaikkan harga eceran tertinggi untuk minyak goreng curah. Dari sebelumnya Rp 11.500 per liter menjadi Rp 14.000 per liter.
“Pemerintah memutuskan memberikan subsidi Rp 14.000 per liter curah dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS),” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, seusai mengikuti rapat kabinet terbatas, Selasa (15/3).
Sehingga menurut Sultan, kebijakan subsidi minyak goreng yang dilakukan oleh pemerintah, perlu dipertanyakan. Sebab, pemberian subsidi bukan menjadi solusi atas kelangkaan produk olahan kelapa sawit tersebut saat ini.
“Kelangkaan minyak goreng merupakan akibat dari kesalahan manajemen distribusi dan lemahnya pengaruh kebijakan domestik market obligation (DMO) minyak sawit pemerintah, yang diberlakukan kepada pengusaha crude palm oil (CPO). Pemerintah bisa dibilang tidak bisa berbuat banyak untuk mengendalikan pengusaha sawit dan CPO, yang bekerja dengan sistem kartel,” tandasnya.
Disesuaikan
Sebagai pengekspor minyak sawit nomor satu, lanjutnya, Indonesia harus menjadi price maker komoditas strategis ini di pasar ekspor dan khususnya pasar domestik. Dengan kebijakan DMO, seharusnya harga pasar domestik tidak boleh disesuaikan oleh harga pasar global.
“Negara tidak boleh kalah dengan pelaku bisnis kartel yang merugikan masyarakat. Kami ingin pemerintah bersikap tegas memberlakukan aturan DMO 30 persen,” tandasnya. Selain itu juga memastikan semua lembaga pangan nasional untuk berkolaborasi untuk mengawasi proses distribusi minyak goreng.
Harga CPO dan minyak goreng juga harus diatur di dalam DMO. Karena sangat naif jika negara dan masyarakat harus membayar minyak goreng pelaku usaha sawit dan CPO.
“Apalagi yang selama ini sudah melakukan ekspansi perkebunan sawit secara tidak seimbang, dengan merusak biodiversitas hutan Indonesia dengan harga pasar ekspor. Karenanya, diharapkan Satuan Tugas Pangan untuk mengawasi proses distribusi minyak goreng di setiap daerah,” tegasnya.