Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga mengatakan, perkawinan anak merupakan praktik yang dapat mengancam masa depan anak dan mencoreng seluruh hak anak.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga
Menurutnya, perkawinan anak, merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
“Untuk menciptakan sistem perlindungan anak yang holistik guna menghapuskan perkawinan anak, dibutuhkan adanya pelibatan dari anak–anak, remaja, dan kaum muda itu sendiri,” ujar Bintang, Jumat (11/3/2022).
Data menunjukkan pada 2018, 1 dari 9 perempuan berumur 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun (sekitar 11 persen). Sementara hanya 1 dari 100 laki-laki berumur 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun (hanya sekitar 1 persen).
Berdasarkan data BPS, meski secara nasional angka perkawinan anak turun (dari 11,21 persen pada 2018 menjadi 10,82 persen pada 2019 dan 10,35 persen pada 2020), namun terjadi kenaikan di 9 provinsi. Lebih lanjut lagi, data pada 2020 menunjukkan adanya 22 provinsi dengan angka perkawinan anak yang lebih tinggi dari angka nasional.
Menurut Bintang, praktik perkawinan anak patut menjadi perhatian dan prioritas kita semua karena telah menimbulkan dampak yang sangat masif.
Anak yang menikah memiliki kerentanan yang lebih besar dalam mengakses pendidikan dan layanan kesehatan, berisiko besar mengalami tindak kekerasan, dan berpotensi memunculkan dampak buruk lainnya, termasuk pada persoalan kemiskinan lintas generasi. Apalagi, saat ini kita pun masih menghadapi bencana non-alam wabah covid-19.
Studi Literatur UNFPA dan UNICEF juga menemukan risiko anak perempuan dinikahkan semakin tinggi dalam situasi setelah terjadinya bencana.
Berdasarkan studi UNFPA pada 2020, terdapat potensi terjadinya sekitar 13 juta perkawinan anak di dunia pada rentang waktu 2020-2030 akibat pandemi ini.
Sementara itu, Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda & Olahraga, Bappenas, Woro Srihastuti Sulistyaningrum, juga turut menyampaikan apresiasi yang sebesar-besarnya bagi Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), Australia
Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2) dan pihak–pihak yang berpartisipasi dalam penyusunan Buku Pengantar dan Modul PATBM Berdaya untuk Pencegahan Perkawinan Anak dengan Pelibatan Anak, Remaja, dan Kaum Muda.
Buku Pengantar dan Modul PATBM Berdaya untuk Pencegahan Perkawinan Anak dengan Pelibatan Anak, Remaja, dan Kaum Muda ini merupakan suatu dokumen yang mendukung Kebijakan Perencanaan Nasional dan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak, khususnya pada Strategi Optimalisasi Kapasitas Anak dan Lingkungan yang mendukung pencegahan perkawinan anak.
“Dengan terciptanya buku ini, diharapkan cita–cita pemerintah Indonesia untuk menurunkan angka perkawinan anak menjadi 8,74 pada 2024 sesuai RPJMN 2020-2024 dan 6,94 pada 2030 sesuai dengan Sustainable Development Goals dapat terwujud,” ujar Woro.
Modul PATBM Berdaya untuk Pencegahan Perkawinan Anak dengan Pelibatan Anak, Remaja, dan Kaum Muda merupakan modul pelatihan untuk penguatan kapasitas pengurus PATBM dan kelompok remaja, yang merupakan hasil kajian Yayasan Rumah KitaB, AIPJ2, dan beberapa pihak pendukung lainnya.
Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan Kementerian PPPA, Rohika Kurniadi Sari mengatakan, praktik–praktik baik yang telah dilakukan PATBM harus diintegrasi dalam perencanaan pembangunan, pelaksanaan dan monitoring/evaluasi tingkat desa.
Aksi–aksi dan hasil pendampingan yang telah dilakukan oleh PATBM dapat juga disebarluaskan melalui media secara masif dalam rangka mengukur perubahan yang mendukung upaya pencegahan perkawinan anak pada tingkat desa dan perwujudan percepatan Kabupaten/Kota Layak Anak.
“Sistem ini harus terencana dan berkelanjutan, serta dapat dimasukkan dalam kerangka kebijakan, maupun program/kegiatan. Hal ini dapat dimulai dari tingkat desa, kemudian dapat diangkat dalam skala kabupaten/kota layak anak. Pada tingkat provinsi layak anak dan juga dalam skala besar seperti di RPJMN nasional,” tutup Rohika.