Posisi Indonesia yang mendukung Resolusi Majelis Umum PBB terkait situasi di Ukraina, disayangkan.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana. (Foto: Istimewa)
“Posisi Indonesia dalam voting resolusi ini adalah mendukung. Posisi yang diambil Indonesia patut disayangkan,” kata Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, Kamis (3/3).
Adapun resolusi dengan judul Agresi Rusia terhadap Ukraina menentukan tindakan Rusia menyerang Ukraina ‘disayangkan' (deplore). Penggunaan kata deplore lebih lunak dari mengutuk (condemn).
“Seolah-olah Indonesia berada dalam posisi sebagai hakim terkait serangan Rusia dan menentukan tindakan tersebut sebagai salah. Padahal dua negara yang berseteru pasti memiliki justifikasi berdasarkan Piagam PBB dan hukum internasional,” ujarnya.
Satu hal yang pasti, kata dia, Rusia tidak akan menyatakan dirinya melakukan perang agresi atau serangan terhadap integritas wilayah negara lain. Ini karena perang agresi pasca Perang Dunia II telah disepakati untuk dilarang.
“Sehingga perang hanya boleh untuk dua hal saja yaitu dimandatkan oleh PBB atau dalam rangka membela diri (self defence). Kedua, dengan posisi mendukung berarti Indonesia hanya mengekor AS dan kawan-kawan,” tandasnya.
Menjaga Jarak
Sebagai negara yang menjalankan kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif, lanjutnya, seharusnya Indonesia menjaga jarak yang sama dalam perseteruan antara Ukraina dan Rusia. Indonesia juga tidak perlu melibatkan diri dalam pertikaian dua negara layaknya AS dan kawan-kawan yang cenderung berpihak pada Ukraina.
“Ketiga, Indonesia seolah melupakan sejarah yang pernah dialami di masa lalu. Di masa lalu Indonesia pernah pada posisi seperti Rusia terkait status Timor Timur (Timtim). Ketika itu narasi yang digunakan oleh Indonesia adalah rakyat Timtim berkeinginan untuk bergabung ke Indonesia (integrasi),” tegasnya.
Namun oleh AS dan kawan-kawan dihakimi sebagai tindakan aneksasi. Terakhir, posisi yang diambil oleh Perwakilan Indonesia di PBB tidak sesuai dengan arahan dari Presiden Joko Widodo.
“Presiden dalam tweetnya tanggal 24 Pebruari 2022 menghendaki stop perang. Maknanya, Presiden tidak merujuk pada ketentuan Pasal 2 ayat 4 Piagam PBB yang mewajibkan negara agar menahan diri dari penggunaan kekerasan (perang) dalam melakukan hubungan internasional terhadap integritas wilayah negara lain,” imbuhnya.
Presiden lebih merujuk pada ketentuan Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB, yang mewajibkan negara untuk menyelesaikan sengketa mereka secara damai. Sehingga tidak membahayakan perdamaian dan keamanan internasional.
“Apa hendak dikata, nasi telah menjadi bubur. Indonesia tdak lagi bisa secara maksimal dalam posisi sebagai bagian dari solusi dalam pertikaian Rusia dengan Ukraina, tetapi telah berposisi sebagai bagian dari masalah,” sesalnya.
Ke depan, kata dia, Kementerian Luar Negeri dalam membuat kebijakan untuk menyikapi pertikaian antar negara harus hati-hati dan cermat. Kemlu tidak seharusnya sekedar mengekor perspektif kebanyakan negara, apalagi negara-negara besar yang memiliki pengaruh.