Majelis Umum PBB (UN General Assembly) memulai sesi perdebatan darurat terkait Ukraina.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana. (Foto: Istimewa)
“Ada tiga pilihan bagi negara-negara anggota PBB atas draf resolusi. Yaitu menyetujui, menentang atau abstain,” kata Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, Selasa (1/3).
Meski tidak mempunyai kekuatan mengikat layaknya resolusi Dewan Keamanan PBB, lanjutnya, namun resolusi Majelis Umum dapat mengindikasikan bagaimana negara-negara bersikap atas situasi di Ukraina. Menurutnya, ada dua kemungkinan draf resolusi yang dirancang.
“Bagi AS dan sekutunya yang melihat serangan Rusia atas Ukraina sebagai invasi, maka inti dari draf resolusi akan bernuansa mengutuk (condemn) atau mengecam (deplore). Sementara bagi Rusia yang ingin dibenarkan serangannya terhadap Ukraina, maka inti draf resolusi mengacu pada Pasal 51 Piagam PBB terkait hak untuk membela diri,” ujarnya.
Bagi Rusia, Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk yang baru saja diakuinya, adalah pihak yang mendapat serangan dari Ukraina. Rusia pun membantu atas dasar pakta pertahanan dengan kedua negara.
“Atas dua rancangan ini, Indonesia dapat mengusulkan draf resolusi alternatif. Inti draf ini agar semua negara yang bertikai untuk segera menghentikan segala bentuk penggunaan kekerasan dan menyelesaikan secara damai,” tandasnya
Sesuai
Draf resolusi demikian sesuai dengan pernyataan Presiden Jokowi saat Rusia mulai melakukan serangan, yaitu ‘Stop Perang.’ Resolusi demikian bisa menjadi alternatif bagi negara-negara yang tidak ingin mengekor posisi AS ataupun Rusia di satu sisi dan di sisi lain memberi perlindungan bagi korban rakyat sipil di Ukraina yang tidak berdosa.
“Resolusi ini juga dilandasi pada pengalaman Indonesia berpuluh-puluh tahun lalu, ketika Indonesia berjuang atas integrasi Timor Timur. Saat itu AS dan negara-negara Barat menganggap Indonesia melakukan aneksasi,” tegasnya.
Akhirnya, Resolusi MU 3485 (XXX) yang menetapkan Indonesia melakukan aneksasi setelah melalui debat sangat panjang selama 7 tahun, disetujui 72 negara 10 menentang (termasuk Indonesia) dan 43 abstain.
“Layaknya di persidangan, satu fakta memang dapat dilihat dari dua perspektif yang berbeda. Hanya saja satu hal yang pasti tidak boleh ada penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa antar negara. Dan bila terjadi penggunaan kekerasan tersebut, maka rakyat sipil harus mendapat perlindungan,” tukasnya.