Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita didesak untuk membuka data produksi dan utilitas minyak goreng nasional kepada publik.
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto. (Foto: Biro Protokol dan Humas DPR RI)
“Termasuk juga data kelancaran aliran bahan bakunya, yakni crude palm oil (CPO) dengan harga domestic market obligation (DMO). Hal ini penting untuk memastikan bahwa suplai minyak goreng dari industri memang benar dalam kondisi aman,” kata anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto, Kamis, (24/2).
Dia juga meminta Kemenperin proaktif membuka data produksi minyak goreng masing-masing industri ke publik. Dengan demikian, kata dia, masyarakat jadi tahu perusahaan apa dan mana saja yang mengalami penurunan produksi, serta apa penyebab masalahnya.
“Pasalnya, sudah tiga minggu kebijakan DMO CPO ini berjalan. Namun masih saja terjadi kelangkaan minyak goreng. Baik di pasar tradisional maupun pasar ritel modern dan dengan harga yang masih melampaui harga eceran tertinggi (HET),” ujarnya.
Dikatakan, publik sekarang ribut karena ditemukan berbagai penyimpangan di bagian distribusi minyak goreng. Baik dugaan adanya penimbunan, pengalihan kuota untuk pasar tradisional ke industri, termasuk perhotelan dan lain-lain.
“Itu semua tidak akan menjadi masalah berlarut-larut, kalau memang di sisi produksi minyak goreng memang benar-benar dalam kondisi stabil dan mencukupi. Produsen minyak goreng semestinya juga bisa membuka akses langsung industri atau perhotelan, sebagai konsumen besar,” tandasnya.
Bahan Baku
Sehingga mereka tidak terpaksa membeli minyak goreng yang dialokasikan untuk pasar tradisional di atas HET dari distributor nakal. Politikus Partai Keadilan Sejahtera itu juga mengaku tidak yakin ada masalah di sisi produksi bahan baku minyak goreng.
“Sebab selama ini tidak pernah terdengar ada masalah iklim atau masalah sosial yang mengakibatkan terganggunya produksi bahan baku minyak goreng. Yang ada justru kabar melonjaknya harga jual internasional CPO,” tegasnya.
Sehingga, bukan tidak mungkin ada eksportir CPO nakal yang tetap ingin memaksimalkan marjin keuntungan mereka dengan tidak mengindahkan kewajiban DMO. Sebab, pengalaman dengan DMO untuk kasus komoditas batu bara juga seperti itu.
“Dimana pengusaha yang serakah, berpotensi tergiur dengan harga CPO internasional yang sedang bagus-bagusnya. Sehingga mereka mengabaikan kuota 20 persen untuk kebutuhan pasar domestik dengan harga domestic price obligation (DPO),” ungkapnya.
Akibatnya, industri minyak goreng kesulitan mendapat CPO sesuai harga DMO. Sehingga mereka tidak mampu memproduksi minyak goreng seharga HET dan terpaksa mengurangi produksinya.
“Saat ini adalah titik krusial kebijakan DMO CPO dengan DPO. Bila pada titik ini aman, maka secara logika turunannya di sisi distribusi akan kembali lancar. Karena pada bagian distribusi ini tidak ada intervensi kebijakan pemerintah yang baru,” tukasnya.