Presiden Joko Widodo diminta segera bertindak terkait status penambangan batuan andesit di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto. (Foto: Biro Protokol dan Humas DPR RI)
“Sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi, presiden perlu menentukan sikap. Jangan sampai masalah penambangan batuan andesit di Wadas merembet pada pembangunan Bendungan Bener, yang merupakan proyek strategis nasional (PSN),” kata anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto.
Menurutnya, tambang Wadas dan pembangunan Bendungan Bener adalah dua proyek berbeda. Lokasi kedua proyek itu juga terpisah. Sehingga, pemerintah tidak bisa serta-merta menyebut kegiatan penambangan andesit di Desa Wadas merupakan bagian dari PSN Bendungan Bener.
“Karena itu pemerintah harus bijak menyikapi penolakan penambangan andesit oleh warga Wadas. Pemerintah jangan memaksakan kehendak sehingga terjadi bentrokan massa yang fatal,” ujarnya.
Dia menambahkan, mulanya pemerintah hanya ingin membangun Bendungan Bener sebagai PSN. Namun kebetulan di Desa Wadas yang jaraknya hanya 10-11 km dari lokasi PSN Bendungan Bener, ditemukan tampungan batu andesit dengan jumlah cukup besar yaitu sekitar 40 juta meter kubik.
“Padahal kebutuhan untuk Bendungan Bener hanya 8,5 juta meter kubik. Melihat kondisi ini maka Pemerintah serta-merta memasukan penambangan andesit di Wadas sebagai PSN,” tandasnya.
Desa Lain
Awalnya, tambang batuan untuk Bendungan Bener ini akan diambil dari desa lain. Selisih jarak sekitar 5 km bila dibandingkan dengan jarak lokasi Desa Wadas. Bahkan sudah ada lima penambang yang memiliki izin usaha penambangan di kecamatan tersebut.
“Namun karena di Wadas terdapat kandungan andesit yang besar dan jaraknya lebih dekat, pemerintah langsung mengubah lokasi penyedia batuan andesit itu. Dengan pertimbangan efisensi-ekonomis, maka diputuskan untuk mengambil batuan andesit dari Desa Wadas,” tegasnya.
Yakni dengan cara menetapkan IPL (izin penetapan lokasi) Desa Wadas menjadi satu-kesatuan dengan PSN Bendungan Bener dan berbagai langkah administratif lainnya. Sayangnya, proses analisis mengenai dampak lingkungan (andal) dan partisipasi masyarakat tidak dilaksanakan dengan baik.
“Sehingga memunculkan penolakan masyarakat. Karenanya, pemerintah jangan sekedar memikirkan aspek efisiensi-ekonomis untuk mendapatkan batuan andesit murah. Namun perlu juga mempertimbangkan aspek sosial kemasyarakat dan lingkungan,” ucapnya.
Persoalannya adalah apakah pilihan yang diambil, sekedar pembangunan fisik yang efisien-ekonomis meskipun dipaksakan dengan cara represif-intimidatif security approach. Atau pembangunan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, dengan pendekatan prosperity approach.
“Filosofi kita mengamanatkan, bahwa pembangunan pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya. Konstitusi kita sama sekali tidak mengamanatkan pembangunan yang sekedar mengejar kemajuan fisik dengan prinsip efisien-ekonomis, apalagi dengan represi dan intimidasi kepada rakyat,” tukasnya.