Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria didorong untuk direvisi, karena bisa menyelesaikan konflik.
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. (Foto: Biro Protokol, Humas dan Media DPD RI)
“Sejauh ini, kewenangan Tim Reforma Agraria Nasional belum cukup kuat menjalankan reforma agraria itu sendiri. Makanya, perlu revisi Perpres sehingga alur dan mekanisme pelaksanaan reforma agraria bisa diatur lebih sistematis,” kata Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Jumat (11/2).
Dia mengingatkan, dalam revisi Perpres, Kementrian Agraria dan Tata Ruang (ATR) harus mendengarkan dan menerima masukan dari publik. Antara lain seperti organisasi ahli pertanahan, masyarakat adat dan lainnya.
“Perlu partisipasi publik yang luas dalam revisi Perpres ini. Keterlibatan dan keterwakilan organisasi penting, sebagai kontrol pelaksanaan dan penjaga agenda reforma agraria agar tetap pada tujuannya,” ujar dia.
Ditambahkannya, diperlukan sistem yang lebih tertib dan terdapat harmonisasi dengan peraturan lainnya dalam urusan pertanahan. Hal itu agar tidak tumpang tindih dengan kewenangan kementerian lain.
“Yang terpenting, revisi Perpres tersebut dapat menyelesaikan konflik. Dan bukan memperluas konflik pertanahan yang merugikan masyarakat adat, kelompok petani, buruh tani, tunawisma, nelayan dan masyarakat kecil lainnya,” tandasnya.
Di sisi lain, agenda reforma agraria harus terus dilakukan dengan cepat. Agar aset-aset
pemerintah tidak sewenang-wenang dapat dikuasai pihak-pihak swasta atau perorangan.
“Selama ini masih banyak terjadi penguasaan lahan oleh perusahaan-perusahaan yang
menyebabkan konflik agraria dengan masyarakat. Kita minta prioritas pemerintah adalah melindungi hak masyarakat,” tegasnya.