Upaya pemekaran untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan, diharapkan tidak lantas justru menciptakan kemiskinan baru di Papua.
Wakil Ketua Komite I DPD RI Filep Wamafma. (Foto: Biro Protokol, Humas dan Media DPD RI)
“Yakni penanganan Covid-19 yang sedang menghadapi gelombang baru dan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru. Jangan sampai program pemekaran Papua yang menjadi amanat UU Otonomi Khusus, akhirnya dianaktirikan,” kata anggota DPD RI Filep Wamafma, Senin (7/2).
Salah satu arah pemekaran ini adalah mengurangi ataupun menghapus kemiskinan di tanah Papua. Baik kemiskinan dalam arti pemenuhan kebutuhan pokok, maupun kemiskinan dalam hal pendidikan dan kesehatan.
“Namun, fokus pemerintah sekarang bukan hanya pemekaran Papua, akan tetapi juga penanganan Covid-19 yang mulai memasuki gelombang ketiga dan terutama pembangunan IKN. Yang mau saya tekankan ialah, kita membutuhkan dana sedemikian besar untuk seluruh pekerjaan pemerintah ini,” ujarnya.
Terlebih, utang pemerintah saat ini juga sudah membengkak. Kementerian Keuangan melaporkan posisi utang pemerintah hingga akhir tahun 2021 telah menyentuh Rp 6.908,87 triliun.
“Nilai tersebut bertambah Rp 195 triliun atau kenaikan 3 persen dari November 2021, serta meningkat 14 persen dibandingkan akhir tahun 2020. Terus terang saya cukup khawatir, dapatkah pemekaran ini dapat dikawal terus? Bukan hanya sekadar sampai pada seremonialnya, melainkan terlebih pada transfer dana ke daerah,” tandasnya.
Tuntutan
Peningkatan transfer dana pemerintah ke daerah juga menjadi tuntutan dari pemekaran karena pemerintah daerah. Termasuk daerah pemekaran baru berhak mendapatkan alokasi dana perimbangan, baik dalam bentuk Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
“Kita harus jujur bahwa Papua dan Papua Barat masih sangat bergantung pada dana transfer daerah. Karena selama 2016-2019, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Papua tidak pernah mencapai 10 persen dari APBD,” ungkapnya.
Seperti diketahui, pada 2016 sebesar Rp1,098 triliun atau 8,8 persen dari total APBD Rp 12,438 triliun. Di 2017, persentasenya meningkat menjadi 9,4 persen dari total APDB. Pada 2018, jumlahnya turun ke angka 7,4 persen atau senilai Rp 1,009 triliun dari total APBD Rp 13,548 triliun.
“Pada 2019 turun lagi menjadi 6,7 persen sebesar Rp 938 miliar dari APBD sebanyak Rp 13,978. Untuk Papua Barat, di 2016 persentasenya 5,1 persen, 2017 persentasenya 5,9 persen, kemudian mengalami penurunan di 2018 jadi 5,8 persen dan turun lagi ke angka 5,2 persen di 2019,” paparnya.
Jika dimekarkan, kata dia, otomatis transfer dana ke daerah semakin besar. Hal itu karena setiap provinsi punya hak desentralisasi yang sama. “Lalu, sanggupkah pemerintah memenuhi ini semua, mengingat ada program pembangunan IKN dan penanganan Covid-19,” tukasnya.