Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menilai, partai politik menengah dan kecil terkesan hanya menjadi follower ketimbang menjadi trend setter.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi. (Tangkapan layar: Susilo)
“Padahal bila dipikirkan secara matang secara akademik maupun politik serta subyektif dari masing-masing parpol, sebetulnya mereka diuntungkan dengan penghapusan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden,” katanya, Rabu (5/1).
Hal itu disampaikannya dalam diskusi Gelora Talk bertema Menakar Reformasi Sistem Politik Indonesia, Apakah Mungkin Jadi Gelombang? Dia menambahkan, meski ada sembilan parpol di parlemen, namun perilakunya sama, yakni ‘partai Jokowi.’
“Lihat saja dalam UU Omnibus Law, dalam revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi dan banyak hal, termasuk gagalnya revisi UU Pemilu,” ujarnya. Dia melihat, aspirasi publik tidak disuarakan oleh elit parpol.
Jangankan elit parpol yang ada di pemerintahan, elit partai yang ada di oposisi juga demikian. Padahal, one party rule sebenarnya merugikan kepentingan publik. Karena, partai yang banyak itu justru cenderung besekongkol ketimbang berkelahi.
“Padahal dalam konteks demokrasi, berkelahi itu penting terutama berkelahi argumen,” tandasnya. Namun demikian, Burhanuddin tidak setuju bila parliamentary threshold dinaikkan.
Sebab, hal itu akan berbahaya bagi pluralisme politik. Jika parliamentary threshold dinaikkan, kata dia, dikhawatirkan tidak ada satupun parpol Islam yang bisa selamat. Dan itu bahaya bagi republik ini, karena harus ada representasi dari parpol Islam.
“Karena, dari hasi studi diketahui bahwa cuma ada satu representasi ideologi yang hidup dalam sistem kepartaian kita, yaitu berdasarkan agama versus nasionalis,” tegasnya. Jika parliamentary threshold dinaikkan, lanjutnya, maka akan ada beberapa parpol Islam yang kemungkinan tidak lolos.
Padahal, bila salah satu pilar kepartaian tidak bisa masuk dalam sistem politik formal, justru akan menimbulkan isu-isu terkait keamanan. Sebab, mereka tidak memiliki saluran untuk menyalurkan aspirasinya melalui jalur parlementer.
“Dan ini sangat berbahaya. Sehingga saya berharap, parliamentary threshold kalau bisa diturunkan dan maksimal 4 persen,” ucapnya.