Perkosaan merupakan bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan yang paling banyak terjadi di Indonesia sepanjang 2016-2020.
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat. (Foto: Humas MPR RI)
“Bentuk kekerasan seksual paling banyak berikutnya adalah pencabulan, yakni 6.186 kasus (24,96 persen) dan inses sebanyak 3.318 kasus (13,39 persen),” kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat dalam Refleksi Akhir Tahun: Menelisik Indonesia, Jumat (31/12).
Menurutnya, berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), per November 2021, kekerasan pada anak di 2019 terjadi sebanyak 11.057 kasus. Kemudian, 11.279 kasus pada 2020 dan 12.566 kasus pada 2021.
“Kekerasan yang dialami perempuan, juga mengalami kenaikan. Meski sudah tiba di ujung tahun, nasib Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) tak jelas ujungnya. Membiarkan RUU TPKS tak diakomodir pimpinan DPR RI, adalah sinyal butanya Nurani,” ujarnya.
Dia menambahkan, prinsip moral tidak bertaring atas kejahatan dan kebaikan menjadi kabur dan martabat kaum perempuan dilecehkan. Dikatakan, RUU TPKS harus secepatnya disahkan menjadi sebuah produk UU.
“Karena ini adalah desakan moralitas dan infrastruktur untuk perlindungan menyeluruh. Kekerasan seksual terhadap anak-anak dan perempuan, adalah penyerangan terhadap martabat kemanusiaan,” tandasnya.
Kejahatan
Terlebih, kata dia, kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan yang dikutuk oleh prinsip moral agama, kepercayaan dan ideologi manapun. Itulah alasan mendasar dibalik Deklarasi Universal HAM pada 1948, Pembukaan UUD 1945 aline ke-4 dan batang tubuh, dam UU Nomor 39 Tahun 1999.
“Di dalam kondisi subordinasi, represi dan dominasi sistematis seperti ini, kebisuan, depresi dan atau air mata korban adalah bukti paling kuat. Membisu adalah berkata-kata tanpa kata,” tegasnya.
Sedangkan air mata adalah protes tanpa pemaksaan. Wajah depresi adalah kejujuran paling telanjang. Sayangnya, ucap dia, pimpinan DPR RI belum sampai pada tahap kontemplasi atas realitas.
“Mengesahkan RUU TPKS adalah tindakan memihak korban, mewujudkan keadilan dan kebenaran. Fraksi-fraksi partai di DPR RI boleh berbeda kepentingan politik pragmatis. Akan tetapi harus bertumpu di atas prinsip moral yang sama, untuk mengesahkan RUU TPKS,” imbuhnya.
Selain itu, tertundanya pengesahan RUU TPKS adalah lubang kekurangan yang dibiarkan menganga. Hal itu juga menodai kinerja parlemen, sejak digagasnya RUU ini. “Kenyataan ini menuntut kita segera dan harus merealisasikan undang-undang UU TPKS,” tukasnya.