Kebijakan ekonomi pertanian - khususnya tata niaga kelapa sawit - harus benar-benar dibentuk dengan pendekatan legislasi yang lebih fundamental di wilayah UU.
Wakil Ketua DPD RI Sultan B. Najamudin. (Bagian Pemberitaan dan Media DPD RI)
“Sehingga, perlu memperhatikan kembali beberapa pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja, yang direvisi dari UU Perkebunan. Kami ingin kebijakan ekonomi pertanian - khususnya tata niaga kelapa sawit - benar-benar dibentuk dengan pendekatan legislasi yang lebih fundamental di wilayah UU,” kata Wakil Ketua DPD RI Sultan B. Najamudin di Jakarta, Rabu (27/4).
Sehingga, setiap kebijakan diharapkan bisa diatur secara proporsional. Yakni antara kepentingan nasional dan kepentingan bisnis pelaku usaha. Sedangkan untuk memastikan pengendalian negara terhadap komoditas strategis seperti kelapa sawit, harus diatur secara preventif sejak awal.
“Terutama dalam penguasaan lahan perkebunan yang melibatkan swasta, yang notabene berkewarganegaraan asing. Jangan sampai pengusaha sawit yang menguasai alat produksi seperti pabrik CPO, juga menguasai mayoritas lahan sawit,” ujarnya.
Menurutnya, titik kritis liberalisasi dan kartelisasi tata niaga kelapa sawit harus dihindari. Hal itu agar tidak terjebak dalam situasi kelangkaan komoditas dan inflasi yang terus terulang.
“Sehingga kami mendorong DPR untuk tidak hanya memperbaharui atau melengkapi persyaratan formil UU Cipta Kerja yang dinilai cacat. Akan tetapi juga pada sisi materil UU tersebut. Salah satunya adalah terkait aturan distribusi penggunaan lahan perkebunan milik negara yang direvisi dari UU nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan,” tandasnya.
Dia menambahkan, kepentingan nasional harus menjadi orientasi dan tujuan utama dari setiap kebijakan pemerintah. Dengan demikian, persoalan minyak goreng ini harus diselesaikan sejak dari hulu atau on farm. “Baik dari sisi penguasaan lahan, hingga intensifikasi perkebunan kelapa sawit,” tegasnya.