Pemerintah Indonesia diminta untuk lebih bijak dan hati-hati dalam mengelola utangnya.
Anggota Komisi VI DPR RI Rudi Hartono Bangun. (Biro Pemberitaan DPR RI)
“Pemerintah Indonesia harus lebih awas dan waspada melihat kondisi ekonomi Sri Lanka yang mengalami kebangkrutan,” kata anggota Komisi VI DPR RI Rudi Hartono Bangun, Selasa (12/7).
Menurutnya, jangan sampai nantinya beban utang negara makin besar. Sementara, uang untuk membayar utang dan bunga tidak siap.
“Sehingga berakibat Indonesia bangkrut seperti Sri Lanka. Tata kelola pemerintahan dalam hal kebijakan memberikan subsidi, juga harus menjadi perhatian,” ujarnya.
Dimana subsidi energi cukup berkontribusi pada kenaikan utang pemerintah. Bila penerimaan negara tak cukup membendung subsidi energi, utang jadi solusi satu-satunya.
“Di tengah pemulihan ekonomi akibat pandemi dan dan penerimaan yang belum optimal di Indonesia, pengalaman Sri Lanka harus menjadi perhatian bersama bagi pemerintah,” tandasnya.
Membaik
Dia menambahkan, pemulihan ekonomi Indonesia dari pandemi memang berangsur membaik. Kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mendukung pemulihan ekonomi juga cukup berpihak ke masyarakat.
“Tapi kita juga harus lihat, sebagian besar uang negara saat ini digunakan untuk subsidi. BBM salah satunya. Dirut Pertamina juga sudah pernah bilang, harga keekonomian BBM seperti Pertamax dan solar sudah meningkat tajam, karena harga migas dunia naik,” tegasnya.
Kalau uang sudah tidak cukup, berarti harus nambah utang. Tata kelola utang inilah yang pemerintah harus bijak. Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah pada akhir Mei 2022 mencapai Rp 7.002,24 triliun.
Yakni dengan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 38,88 persen. Belanja subsidi pada 2022 membengkak jadi Rp 578,1 triliun, akibat kebijakan pemerintah yang menahan harga bahan bakar minyak (BBM), LPG 3 kg dan tarif listrik di bawah 3.000 VA.
Anggaran belanja subsidi semula sebesar Rp 207 triliun, namun diubah menjadi Rp 283,7 triliun. Namun dikarenakan konsumsi energi yang meningkat, maka subsidi bisa mencapai Rp 284,6 triliun.
Pemerintah juga harus membayar kompensasi kepada PT Pertamina dan PT PLN karena sudah menahan harga dalam dua tahun terakhir sebesar Rp 293,5 triliun.