Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) mengenai keserentakan Pemilu, dinilai membingungkan.
Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat Indonesia Anis Matta. (Gelora Media Center)
“Ini sangat merugikan kami sebagai partai politik dan rakyat sebagai pemilik suara. Oleh karena itu, Partai Gelora tengah mempelajari kemungkinan untuk mengajukan kembali gugatan pemisahan pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) ke MK dalam waktu dekat,” kata Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta di Jakarta, Jumat (8/7).
Meski demikian, Gelora menghormati putusan MK terhadap gugatan Partai Gelora untuk memisahkan pemilu legislatif dan pilpres. Gugatan yang diajukan Partai Gelora pada prinsipnya ingin memastikan presiden yang dicalonkan berdasarkan pada suara rakyat yang mewakili pikiran dan perasaan hari ini, bukan yang kedaluwarsa.
“Gugatan ini juga bisa menjadi alternatif atas gugatan presidential threshold 0 persen. Karena itu, gugatan Partai Gelora juga bertujuan memberi peluang bagi lahirnya pemimpin baru di tengah krisis berlarut saat ini,” ujarnya
Karena itulah, pihaknya tengah mempelajari kemungkinan mengajukan gugatan kembali. Hal senada disampaikan Koordinator Kuasa Hukum Partai Gelora Said Salahudin.
“Gugatan Partai Gelora tidak dibantah oleh MK, tapi ditolak dalam putusannya. Sehingga alasan ditolak menurut MK, karena belum terpenuhi syarat keadaan mendesak lebih bersifat politik, bukan alasan hukum,” tandasnya.
Jelas
Dia menambahkan, legal standing diterima, pokok permohonan dinyatakan jelas (tidak kabur). Selain itu tidak nebis in idem dan dalil dan argumentasi dalam permohoan tidak ada yang dibantah.
“Tetapi MK menyatakan permohonan ditolak. Dalam Putusan MK Nomor 35/PUU-XX/2022 tentang pengujian Pemilu Serentak yang diajukan Partai Gelora, sudah jelas MK menyatakan pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan,” tegasnya.
Artinya, kata dia, konstruksi subjek hukum pemohon dan kerugian konstitusional yang dibangun oleh Partai Gelora didalam permohonan diterima sepenuhnya oleh MK. Jadi, walaupun norma Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu yang mengatur mengenai Pemilu Serentak sebelumnya pernah diuji beberapa kali oleh pemohon lain, tetapi MK tegas menyatakan bahwa batu uji dan alasan konstitusional yang didalilkan Partai Gelora sangat berbeda.
“Sehingga, permohonan pemohon diterima dan tidak dinyatakan nebis in idem. Lebih dari itu, tidak ada satu pun dalil, argumentasi hukum, serta alat bukti yang diajukan oleh Partai Gelora dimentahkan oleh MK,” ucapnya
Soal argumentasi 'original intent' Pemilu Serentak yang didalilkan oleh pemohon, tidak sesuai fakta ketika UUD 1945 diamendemen, misalnya, juga sama sekali tidak dibantah oleh MK. Tentang dalil pemohon bahwa Pemilu Serentak yang menggabungkan Pileg dan Pilpres tidak efektif dalam penguatan sistem presidensial, juga tidak dibantah MK.
“Sehingga secara tidak langsung MK mengakui bahwa berkaca dari hasil Pemilu 2019, tujuan dari Pemilu Serentak yang dimaksudkan untuk memperkuat sistem presidensial, ternyata memang tidak terbukti. Masalahnya kemudian, pada ujungnya MK menyatakan permohonan ditolak,” sesalnya.
Kebingungan
Hal itulah yang menjadi kebingungan pemohon. Sebab, semua dalil dan argumentasi tidak dibantah, tetapi permohonan dinyatakan ditolak. Kebingungan yang kedua muncul ketika MK berpandangan belum memiliki alasan yang kuat.
“Yakni karena belum melihat ada kondisi yang secara fundamental berbeda bagi MK untuk menggeser pandangannya memisahkan kembali pelaksanaan Pileg dan Pilpres. Namun, persoalannya, dalam putusan itu MK sama sekali tidak menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan kondisi yang secara fundamental berbeda,” imbuhnya.
Mestinya hal itu diuraikan. Sehingga harus jelas parameternya seperti apa. Pihaknya melihat, dalam memutus perkara ini, MK prematur membuat kesimpulan.
“Sebab, tanpa pernah memberikan kesempatan kepada Partai Gelora untuk menghadirkan saksi dan ahli, para Hakim Konstitusi sudah langsung memutus perkara,” tukasnya.