Penerapan penggunaan aplikasi MyPertamina untuk pembelian BBM jenis pertalite dan solar terus menuai polemik.
Anggota Komite I DPD RI Hilmy Muhammad. (Bagian Pemberitaan dan Media DPD RI)
“Namun kebijakan tersebut dianggap kurang tepat karena justru menyulitkan masyarakat. Sosialisasi yang kurang dan aturan yang belum siap, menjadi pangkal persoalan,” kata anggota Komite I DPD RI Hilmy Muhammad, Kamis (7/7).
Apalagi, masyarakat diminta untuk mengunduh aplikasi MyPertamina melalui smartphone atau mendaftarkan diri di situs. Menurutnya, mengapa harus menyulitkan masyarakat yang mendapatkan subsidi.
“Yang semestinya diatur adalah yang tidak mendapatkan subsidi, karena jumlahnya yang lebih sedikit. Kalau kita mau ambil mudahnya, semestinya yang diatur adalah yang tidak mendapatkan subsidi, karena jumlahnya lebih sedikit,” ujarnya.
Selain itu, mereka yang tidak membutuhkan subsidi lebih melek dengan teknologi. Jadi untuk daftar-daftar segala macam akan lebih mudah.
“Kalau yang mendapatkan subsidi yang diatur, selain akan sulit, mereka juga belum siap.
Mengatur lebih banyak orang tentu lebih sulit. Hal ini jelas menunjukkan keberpihakan BUMN kepada siapa, juga akan semakin memperlihatkan ketimpangan,” tandasnya.
Tidak Berpihak
Dia khawatir, yang pakai aplikasi, silakan antre, yang tanpa aplikasi bisa langsung maju. Hal itu jelas tidak berpihak pada rakyat.
“Saya mendapatkan laporan bahwa seorang petani di Yogyakarta ditolak membeli solar untuk traktornya, karena tidak memiliki nomor kendaraan. Sebenarnya banyak kasus yang menunjukkan kebijakan ini kurang tepat,” tegasnya.
Karenanya, dia mengaku khawatir kalau para nelayan juga mengalami nasib yang sama. Dimana terdapat tujuh syarat pendaftaran. Yaitu menyiapkan dokumen yang dibutuhkan seperti KTP, STNK, foto kendaraan dan dokumen pendukung lainnya.
Kemudian membuka website subsiditepat.mypertamina.id; centang informasi memahami persyaratan; klik daftar sekarang; ikuti instruksi dalam website tersebut; tunggu pencocokan data maksimal 7 hari kerja di alamat email yang telah didaftarkan.
Atau cek status pendaftaran di website secara berkala; apabila sudah terkonfirmasi, unduh (download) kode QR dan simpan untuk bertransaksi di SPBU Pertamina. Syarat-syarat tersebut dianggap berbelit dan terlalu lama konfirmasinya.
“Kerja aplikasi online semestinya secara realtime, tidak harus menunggu selama 7 hari. Belum lagi nanti akan ada kendala dan pendaftarnya semakin banyak, waktu konfirmasi akan molor panjang,” ucapnya.
Tidak Efektif
Pada kasus aplikasi lain, setelah mengikuti semua tahap pendaftaran, masih diminta untuk melampirkan fotokopi identitas. Tentu sangat tidak efektif. MyPertamina demikian juga, sudah daftar tapi masih diminta cetak code QR.
“Penerapan kebijakan ini seperti kelatahan. Ada banyak aplikasi yang diciptakan oleh kementrian. Di antaranya BPJS, Peduli Lindungi, Sisnaker, JKN, Dukcapil, kepolisian, Bansos Kemensos, Kemendag, E-Kemenkeu dan lain sebagainya,” ucap dia.
Dimana semua kementerian punya aplikasi, bahkan lebih dari satu. “Apakah semua berfungsi secara maksimal? Tidak bisakah semua aplikasi itu disinkronkan menjadi satu untuk mendukung program Presiden Jokowi Satu Data Indonesia,” imbuhnya.
Dari semua aplikasi itu, harus daftar lagi, menyetor identitas lagi dan seterusnya. Untuk Satu Data Indonesia, bisa dijadikan sebagai aplikasi induk.
“Sementara aplikasi lain tinggal memilah datanya, mana yang mendapatkan subsidi, mana yang tidak. Bukan masyarakat yang disuruh terus-menerus mendaftar. Ini justru bukan inovasi, tetapi kelatahan,” kritiknya.
Dia juga mempertanyakan, kalau dulu apa-apa harus pakai kartu, sekarang aplikasi. “Coba cek, berapa kartu yang ada di dompet kita? Coba cek juga HP kita, ada berapa aplikasi bikinan negara,” tukasnya.