Kelangkaan pupuk subsidi dan mahalnya harga pupuk komersil yang susah dicari, menjai keluhan para petani dan pekebun.
Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR RI Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) saat melakukan kunjungan kerja Komisi VI DPR RI ke PT Petrokimia Gresik, Jawa Timur. (Dok. Fraksi Partai Demokrat DPR RI)
“Kelompok tani, pekebun dan sebagian peternak di area Pacitan, Magetan, Ponorogo, Ngawi dan Trenggalek masih kesulitan mencari pupuk,” kata anggota Komisi VI DPR RI Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) saat melakukan kunjungan kerja komisi ke PT Petrokimia Gresik, Jawa Timur, Selasa (21/6) lalu.
Padahal, para petani dan pekebun itu masih dalam zona yang cukup terjangkau ketimbang daerah yang jauh. Mereka juga menyampaikan, pupuk seringkali tidak datang tepat waktu alias kosong.
“Ketika sudah mulai menanam, mau memupuk, pupuknya tidak ada. Kecuali mereka yang sudah menyetok, karena mungkin mempunyai kemampuan lebih besar dari kawan-kawan yang lain,” ujarnya
Karenanya, dia juga mempertanyakan bagaimana solusi untuk permasalahan pupuk yang masih dirasakan rakyat. Padahal, pendapatan Pupuk Indonesia berhasil naik.
“Cukup menarik ya, ketika kita bicara Petrokimia, holding, dan seluruh anak perusahaan labanya naik, pendapatannya naik. It’s a good news ya. Berarti perusahaan ini sehat dan tumbuh berkembang,” tandasnya.
Tidak Menarik
Namun ada hal yang dinilainya tidak menarik. Yakni mengapa masih ada alokasi di bawah usulan kebutuhan. Contohnya, Urea NPK ZA SP-36 Organik, 3.8 juta ton subsidi dan 2.7 juta ton non-subsidi.
“Apakah kita perlu hitung ulang? Apalagi saat masyarakat masih merasakan kelangkaan pupuk. Kedua, terkait distribusi yang belum sesuai dengan pendataan. Stoknya ada sekitar 1.3 juta, tapi yang terealisasai 98 persen,” tegasnya.
Dia mempertanyakan, apakah itu artinya perlu peningkatan produksi atau ada penimbunan. Karena itu, dia meminta pengawasannya diperketat serta menggunakan digital monitoring.
“Saya juga senang tadi ada rencana melakukan digitalisasi. Saya tadi baru mau mengusulkan mungkin kita memerlukan Pupuk Hub Digital yang diperbanyak dan diperluas. Sehingga sosialisasinya kepada petani dan pekebun ada dan hadir,” ucapnya.
Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR RI itu menambahkan, harga pupuk relatif mahal karena mengikuti hukum pasar. Sebagai contoh, pupuk urea 50 kg seharga Rp 120 ribu. Sementara, pupuk non-subsidinya Rp 350 ribu.
“Itu disparitasnya terlalu tinggi. Bagaimana kita memberikan edukasi kepada pasar supaya ada titik terang juga di sana? Lebih lagi ada rencana mengurangi jenis pupuk subsidi dari 5 jenis menjadi hanya 2 jenis yaitu NPK & urea saja yg tersubsidi,” jelasnya.
Bahan Baku
Terkait kesiapan bahan baku pupuk, adalah faktor-x akibat perang Rusia-Ukraina. Karenanya, dia mempertanyakan apakah Indonesia tidak memiliki riset mendalam tentang negara-negara lain penghasil bahan baku.
“Cari negara selain Kadana yang punya peluang untuk kerja sama mendatangkan bahan baku. Hal itu supaya kita tidak terlalu terpengaruh atas dampak yang terjadi ke depan dan bisa memprediksi serta mengantisipasi dalam jangka panjang,” jelasnya.
Selain itu, penting pula kita memperhatikan distribusi bahan baku pupuk. Termasuk apakah ada permasalahan terkait distribusi bahan baku. “Apakah faktor gasnya? Listriknya? Atau batu baranya? Kalau itu adalah penggerak mesin produksi. Jangan sampai menimbulkan permasalahan baru yang tidak kita inginkan,” tukasnya.