Sistem Kesehatan Nasional yang selama ini diatur dalam Peraturan Presiden No.72/2012, didorong untuk disempurnakan menjadi Undang-Undang.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo saat menerima Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI). (Bagian Pemberitaan MPR RI)
“Sekaligus menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi dunia kesehatan,” kata Ketua MPR RI Bambang Soesatyo usai menerima Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) di Ruang Kerja Ketua MPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (20/6).
Antara lain mulai penyediaan sumber daya tenaga kesehatan melalui praktik kedokteran, skema pembiayaan kesehatan untuk masyarakat, hingga penyediaan sumber daya kesehatan. Seperti fasilitas puskesmas, rumah sakit, kefarmasian, laboratorium, serta ketersediaan berbagai alat kesehatan.
“Berbagai permasalahan tersebut terlihat dalam laporan Bappenas yang mencatat pada triwulan III tahun 2021. Dimana hanya 56,4 persen fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan 88,4 persen rumah sakit yang terakreditasi,” ujarnya.
Selain itu, masih ada 4,97 persen puskesmas tanpa dokter. Kehadiran UU Sistem Kesehatan Nasional juga bagian dari pengejawantahan amanat konstitusi. Khususnya dalam Pasal 28H ayat (1).
“Yang menyatakan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Kemudian Pasal 34 ayat 3, yang menyatakan negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak,” tandasnya.
Tepat
Dalam pertemuan itu, Pengurus PB IDI yang hadir antara lain Ketua Umum Moh. Adib Khumaidi, Wakil Ketua Umum 2 Mahesa Paranadipa, Sekjen Ulul Albab dan Ketua Dewan Pakar Anwar Santoso. Mantan Ketua DPR RI itu menambahkan, momentum menghadirkan UU Sistem Kesehatan Nasional saat ini sangat tepat.
“Mengingat pandemi Covid-19 telah membuka mata semua pihak. Betapa sistem kesehatan nasional masih sangat rapuh. Hal itu sebagaimana dicatat Bappenas, beberapa pembelajaran penting atas kurangnya respon sistem kesehatan nasional menghadapi pandemi Covid-19,” tegasnya.
Antara lain terlihat dalam hal kurangnya tenaga kesehatan, lemahnya pemanfaatan teknologi informasi untuk surveilans, kapasitas pelayanan kesehatan yang terbatas, hingga mekanisme mobilisasi pembiayaan kesehatan yang rendah. Sehingga, kehadiran UU Sistem Kesehatan Nasional juga bisa memperkuat UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
“Sekaligus memastikan lebih detail agar amanat Pasal 171 ayat 1 dan ayat 2 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Yang mana menekankan bahwa besar anggaran kesehatan pemerintah dialokasikan minimal sebesar lima persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji,” jelasnya.
Selain itu, besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal sepuluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji. Dengan adanya UU, maka bisa dilaksanakan dengan baik sesuai ketentuan perundangan yang berlaku.
“Selama ini, persentase anggaran kesehatan yang dikeluarkan Indonesia hanya sekitar 1,4 persen dari PDB. Jauh lebih kecil dibandingkan Vietnam sebesar 2,7 persen, Inggris 7,6 persen, dan Jerman 8,7 persen,” paparnya.
Pada periode 2017–2020, rata-rata pertumbuhan realisasi anggaran fungsi kesehatan hanya mencapai 22,5 persen per tahun. “Yaitu dari Rp 57.225,1 miliar pada tahun 2017 menjadi Rp 105.088,5 miliar pada tahun 2020,” tukasnya.