Teknologi e-Voting Berbasis Blockchain Hemat Biaya dan Kurangi Pelanggaran 

Mahalnya biaya Pemiliham Umum 2024, dapat diatasi dengan menggunakan teknologi e-Voting berbasis blockchain.

Teknologi e-Voting Berbasis Blockchain Hemat Biaya dan Kurangi Pelanggaran 

Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi. (Ist)

Wowsiap.com – Mahalnya biaya Pemiliham Umum 2024, dapat diatasi dengan menggunakan teknologi e-Voting berbasis blockchain. Selain menghemat keuangan negara sampai Rp 90 triliun, juga mampu mengurangi kecurangan dan pelanggaran dalam pemilu.

“Selain itu, bisa menghindari jatuhnya korban petugas pemilu seperti terjadi pada pemilu sebelumnya,” kata Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi, yang sekaligus memimpin tim kajian e-Voting di Jakarta, kemarin.

Sebagai perbandingan, anggaran penyelenggaraan pemilu berturut- turut adalah Pemilu 2004 Rp 4,4 triliun; Pemilu 2009 Rp 8,5 triliun; Pemilu 2014 Rp 15,6 triliun dan Pemilu 2019 Rp 25,6 triliun. Dengan demikian, anggaran Pemilu 2024 adalah 19 kali lipat lebih besar daripada biaya Pemilu 2004 dan tiga kali lipat daripada Pemilu 2019.

“Dari Rp 110 triliun anggaran Pemilu 2024, sejumlah Rp 76,6 triliun dialokasikan untuk Komisi Pemilihan Umum. Sebesar 54,9 persen atau Rp 42,08 triliun diantaranya, akan digunakan untuk membayar honor badan ad hoc,” ujarnya.

Dimana pada Pemilu 2019, badan ad hoc terdiri dari 7.201 PPK, 83.404 PPS, 809.500 KPPS, 130 Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) dan 783 Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN). Setiap PPK dan PPS beranggotakan tiga orang, setiap KPPS beranggotakan tujuh orang dan masing-masing PPLN dan KPPSLN beranggotakan tiga hingga tujuh orang.

“Jika disimulasikan, maka paling sedikit ada 5.941.054 orang dan paling banyak ada 5.944.706 orang yang masuk di badan ad hoc KPU. Tak heran jika setengah lebih anggaran KPU dipergunakan untuk honor badan tersebut,” tandasnya.

Jumlah ini belum termasuk jumlah pegawai KPU yang lebih dari 14 ribu orang. Tim menemukan bahwa 21,97 persen anggaran KPU 2024 atau sebesar Rp 16,84 triliun rupiah akan digunakan untuk kebutuhan surat suara, formulir, tinta, sampul, kelengkapan TPS dan lain- lain.

“Dimana Pemilu 2019 membutuhkan 4 juta lebih kotak suara, 75 juta lebih keping segel, 51 juta lebih lembar sampul, 990 juta lebih lembar surat suara, 1,6 juta lebih alat bantu tunanetra dan 2,1 juta lebih bilik suara. Kemudian, 1,6 juta lebih botol tinta, 62,2 juta lebih keping hologram, 561 juta lebih lembar formulir dan 3,9 juta lebih lembar daftar pasangan calon dan daftar calon tetap,” paparnya.

Selanjutnya, 1,02 persen atau sebesar Rp 781,89 miliar untuk pemutakhiran data pemilih, 1,68 persen atau sebesar Rp 1,29 triliun untuk pencalonan, dan 1,6 persen atau sebesar Rp 1,23 triliun rupiah untuk sosialisasi. Yang terakhir, 18,83 persen atau sebesar Rp 14,43 triliun digunakan untuk kebutuhan pendukung.

“Antara lain seperti pembangunan atau renovasi kantor, gedung arsip, pengadaan kendaraan, gaji pegawai KPU, belanja operasional kantor, dukungan IT dan seleksi komisioner,” tegasnya.

Pengawasan
Sementara, alokasi anggaran untuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) adalah Rp 33 triliun. Secara umum, dapat kita perkirakan, penggunaan anggaran oleh Bawaslu akan lebih banyak untuk kegiatan pengawasan.

“Yang berarti tidak jauh dari kebutuhan sumber daya manusia, kegiatan dan infrastruktur pendukung. Paling tidak, ada sekitar 834.080 pegawai Bawaslu, termasuk yang tetap dan yang ad hoc,” imbuhnya.

Sementara dari Pemilu 2019, dari total anggaran Bawaslu yang berjumlah Rp 8 triliun rupiah, Rp 964 miliar lebih di antaranya digunakan untuk belanja pegawai, seperti gaji. Kemudian, Rp 7,6 triliun lebih digunakan untuk belanja barang, seperti biaya perjalanan dan Rp 141 miliar lebih untuk belanja modal seperti renovasi bangunan.

Ridho menambahkan, luasnya wilayah RI yang terdiri dari lebih dari 17 ribu pulau dan 190 juta lebih pemilih, memungkinkan timbulnya banyak pelanggaran serta kecurangan pemilu. Selain itu juga kebutuhan sumber daya yang banyak serta biaya yang sangat tinggi.

“Secara keseluruhan, proses pencoblosan hingga rekapitulasi nasional, dapat memakan waktu hingga satu bulan lebih. Menurut beberapa sumber, proses perjalanan rekapitulasi suara dan kotak suara di antara TPS dan PPK merupakan tahapan yang sangat rentan terhadap praktik kecurangan dan sangat memakan waktu,” ungkapnya.

Ada sekitar 4 juta kotak suara yang tersebar di 800 ribu lebih TPS, yang kemudian transit di 83 ribu kantor desa dan 7.000 kantor kecamatan. Dari alur di atas, dapat dilihat di mana letak titik rentan kecurangan dan ketidakefektifan sistem pemilu tradisional.

“Dan betapa sulit cara pengawasannya. Dari Laporan Bawaslu pada Pemilu 2019, ada 16.134 pelanggaran administrasi, 374 pelanggaran kode etik, 582 pelanggaran pidana, dan 1.475 pelanggaran hukum lainnya yang dilaporkan,” tukasnya.

teknologi e-Voting blockchain anggaran pemilu