Presiden harus bersedia untuk mempercantik kanvas sejarah politiknya sendiri, sebagai legacy demokrasi, yang akan dikenang generasi selanjutnya
Wakil Ketua DPD RI Sultan B. Najamudin. (Bagian Pemberitaan dan Media DPD RI)
“Presiden harus bersedia untuk mempercantik kanvas sejarah politiknya sendiri, sebagai legacy demokrasi, yang akan dikenang generasi selanjutnya,” kata Wakil Ketua DPD RI Sultan B. Najamudin di Jakarta, Senin (23/5).
Menurutnya, presiden harus menjadi transformer penyelamat demokrasi, yang terus berjalan mundur. Sehingga kemudian bisa mewariskan sistem politik dan demokrasi yang lebih baik bagi pemimpin dan generasi selanjutnya.
“Terutama dalam menertibkan parpol, yang justru menjadi lembaga politik yang paling merusak sistem demokrasi kita. Maka dari itu, kami selalu mengatakan bahwa sistem politik kita saat ini hanya melahirkan politisi dan para perebut kekuasaan yang pragmatis,” ujarnya.
Karena bukan menghadirkan para negarawan, yang memikirkan masa depan bangsa, seperti para founder fathers terdahulu. Menurutnya, fenomena multi parpol ekstrim sangat tidak relevan dengan demokrasi presidensial.
“Karena parpol merupakan institusi politik publik, maka negara harus membatasi jumlah parpol. Selain itu merekomendasikan kurikulum pendidikan politik yang baku bagi parpol sesuai nilai-nilai Pancasila,” tandasnya.
Seenaknya
Meski semua warga negara tentu berhak dan bebas untuk berkumpul dan berserikat, kata dia, namun tidak berarti masyarakat boleh seenaknya membentuk organisasi politik. Yang mana dalam aktivitasnya berpengaruh langsung terhadap nasib aktivitas dan masa depan negara seperti parpol.
“Oleh karena itu, pemerintah dan DPR tidak boleh abai dengan perhatian dan kritik publik saat ini. Jangan lagi kita biarkan karakter parpol yang lemah, dimanfaatkan oleh elit saudagar sebagai alat perebut kekuasaan semata,” tegasnya.
Karena kemajuan selalu mensyaratkan perubahan dan transformasi. Dan kemunduran sistem politik yang menjebak demokrasi ke dalam lingkaran hegemoni kepentingan elit dan oligarki, harus diakhiri demi masa depan bangsa yang lebih baik.
“Satu-satunya syarat bangsa ini mematangkan demokrasi presidensial yang mensejahterakan, adalah dengan melakukan transformasi sistem politik dan ketatanegaraan. Hal itu dapat ditempuh melalui revisi Undang-undang Parpol dan amandemen konstitusi,” ucapnya.
Dia meyakini, semua elemen bangsa - terutama elit politik - menyadari hal yang sama. Transformasi sistem politik membutuhkan kebesaran jiwa dan kepekaan moral politik nasional, untuk bisa menjadi bagian dari solusi problematika bangsa saat ini.
Adapun wacana reformasi sistem politik ini juga disuarakan oleh intelektual dan akademisi senior Azyumardi Azra. Dia berbicara soal demokrasi Indonesia dan menilai Indonesia butuh reformasi jilid 2 secara damai.
“Jadi sekarang kita membutuhkan reformasi jilid dua tapi yang damai. Terutama saya kira politik ya, politik kita perlu reformasi yang luar biasa. Birokrasi kita sudah banyak yang hilang,” tukas Azyumardi pekan lalu.