Presidential threshold juga menjadi pintu masuk bagi oligarki ekonomi untuk membiayai capres.
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. (Bagian Pemberitaan dan Media DPD RI)
Sebab, capres harus mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membayar ‘mahar’ terhadap gabungan parpol tersebut. Lalu, oligarki ekonomi bisa dengan mudah mengendalikan kebijakan negara melalui presiden terpilih yang berhutang budi kepada mereka.
“Presidential threshold membelenggu parpol, sehingga tidak bisa mencalonkan kader-kader terbaik. Karena terpaksa harus bergabung dengan parpol lain, meskipun secara platform perjuangan partai sangat berbeda,” ujarnya.
Presidential threshold juga menghasilkan bagi-bagi kursi maupun jabatan lain, untuk parpol koalisi yang terpaksa bergabung dan tidak bisa mengusung kadernya. Lebih krusial lagi koalisi parpol yang besar membuat mekanisme check and balances legislatif terhadap eksekutif lemah.
“Yang terjadi kemudian, DPR RI menjadi stempel kebijakan pemerintah. Presidential threshold juga sama sekali tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” tandasnya.
Macet
Dimana Pasal 6A. Sehingga Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, sama sekali tidak derivatif terhadap konstitusi. Padahal, adanya ambang batas pencalonan presiden sangat mungkin mengakibatkan sistem tata negara stuck atau macet.
“Bahkan Pilpres bisa tertunda jika partai politik kompak hanya mendaftarkan satu pasang calon, melalui gabungan parpol yang berjumlah lebih dari 80 persen kursi di DPR atau lebih dari 75 persen suara sah Pemilu,” tegasnya.
Karena Undang-Undang Nomor 7/2017 tidak mengatur jalan keluar, apabila pendaftar hanya satu pasang capres. Belum lagi polarisasi bangsa ini, juga terjadi akibat presidential threshold tersebut.
“Persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia menjadi lemah. Karena itulah, solusi dari permasalahan tersebut adalah di Mahkamah Konstitusi. Makanya DPD RI secara kelembagaan melakukan judicial review,” imbuhnya.
Karena sengketa Lembaga, seharusnya MK melihat di dalam Konstitusi kita tak ada aturan ambang batas. Diminta atau tidak, harusnya pasal 222 dibatalkan. Adanya MK adalah untuk menjaga konstitusi dan kalau jelas melanggar konstitusi harusnya dibatalkan,” tukasnya.