Industri tekstil khawatir dengan banjirnya produk impor asal China. Lantaran Kementerian Perdagangan membuka keran impor.
Tekstil impor ilegal
Tentu saja, kondisi ini tak bisa dibiarkan. Kalau tak ingin industri padat karya ini, mati pelan-pelan. Seharusnya pemerintah melindungi usaha anak negeri, bukannya membuatnya mati secara perlahan.
Di tengah kekhawatiran akan banjirnya tekstil dan produk tekstil impor di pasar nasional, ada kabar baik. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mencatatkan pertumbuhan sebesar 12,45 persen di kuartal I-2022 (year on year/yoy). Tertolong kenaikan permintaan saat Lebaran.
Kini, industri TPT kembali dilanda galau. Banjirnya tekstil impor ya g murah meriah, membuat mereka pun tak bisa duduk manis lagi. Hingga akhir tahun, industri tekstil merasa was-was.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta mengakui, pertumbuhan industri tekstil di kuartal I-2022, didorong penjualan dalam negeri yang naik tajam.
"Dampak momen lebaran dan investasi baru dalam rangka penambahan kapasitas produksi dari hulu sampai hilir.“Para pengusaha kembali berinvestasi menambah kapasitas usai serangkaian kebijakan pemerintah terkait pembatasan impor," kata Redma dalam pernyataan resmi APSyFI, dikutip Rabu (1/5/2022).
Namun keadaan berbalik pada kuartal kedua pasca Kementerian Perdagangan kembali membuka keran impor tekstil untuk importir umum (API-U) dengan alasan untuk bahan baku industri kecil menengah (IKM).
“Ini alasan yang agak aneh, karena selama tiga kuartal terakhir telah terbukti industri dalam negeri sangat mampu mensuplai bahan baku untuk IKM dan puncaknya di kuartal I 2022 ketika permintaan naik, kami sangat mampu mensuplai bahan baku untuk IKM,” kata Redma.
Pihaknya pun menenggarai ada lobi importir yang berkepentingan dibalik pemberian ijin impor ini.
“Ya impor sih boleh-boleh saja, tapi jangan hancurkan industri dalam negeri, suplai dalam negeri kan sudah terbukti mencukupi, kenapa harus impor," ujarnya.
Redma menjelaskan, kebijakan itu menjadi kontra-produktif dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan investasi dan memberikan lapangan pekerjaan untuk masyarakat.
Para pelaku usaha pun sangat mengkhawatirkan kinerja sektor tekstil, mulai kuartal II hingga kuartal IV akhir tahun ini. Terlebih, adanya tekanan dari sisi biaya yaitu kenaikan bahan baku, kenaikan tarif listrik dan kenaikan PPN.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat, Ian Syarif, mengatakan, sebagian besar barang impor yang beredar dipasar baik grosir maupun online melakukan penjualan tanpa pembayaran PPN sehingga produk dalam negeri kalah saing karena praktik unfair.“Bagaimana bisa kami menaikan harga jual kalau banyak barang impor yang jual tanpa PPN” katanya.
Ian berharap agar pengawasan terhadap barang impor juga diperketan agar tercipta iklim persaingan usaha yang setara di pasar domestik.