
Wowsiap.com - Banyaknya pemberitaan pasca penandatanganan Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura, dinilai mengarah pada glorifikasi. Sebab, seolah Indonesia memenangkan pertarungan.
“Kata-kata yang menunjukkan glorifikasi, antara lain adalah ‘Akhirnya Perjanjian Ektradisi Disepakati’ atau ‘Singapura Tunduk pada Indonesia.’ Padahal glorifikasi demikian tidak berdasar,” kata Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana.
Sebab, perjanjian ekstradisi Indonesia - Singapura telah ditandatangani pada tahun 2007 di Istana Tampak Siring. Yakni saat pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Perdana Menteri Lee Hsien Loong.
“Perjanjian ekstradisi yang ditandangani pada Selasa lalu, hanya pengulangan penandatanganan dengan amandemen pasal yang mengatur keberlakuan secara retroaktif dari 15 tahun menjadi 18 tahun. Di tahun 2007, pemberlakuan 15 tahun agar perjanjian ekstradisi dapat menjangkau mereka yang terlibat dalam pengucuran Bantuan Likuiditas BI (BLBI),” ujarnya.
Utamanya adalah mereka yang telah mengganti kewarganegaraanya menjadi WN Singapura. “Lalu, kata dia, apakah amandemen 18 tahun akan dapat menjangkau peristiwa BLBI bila diberlakukan tahun 2022,” tandasnya balik bertanya.
Selain itu, glorifikasi seolah perjanjian ekstradisi yang ditandatangani Selasa kemarin langsung berlaku. Padahal setiap penandatangan perjanjian ekstradisi, masih harus diikuti dengan proses pengesahan (ratifikasi) oleh DPR.
“Setelah itu, dilakukan pertukaran dokumen ratifikasi antara Indonesia dan Singapura barul kemudian perjanjian ekstradisi berlaku. Kemudian, glorifikasi sangat tidak berdasar jika Singapura masih mensyaratkan perjanjian ekstradisi berlaku dikaitkan dengan berlakunya perjanjian pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA), yang sangat berpihak pada kepentingan Singapura,” tegasnya.
Dia menambahkan, pada tahun 2007 Presiden SBY tidak mengirim Surat Presiden ke DPR untuk pembahasan perjanjian ekstradisi. Hal itu karena publik tidak setuju dengan perjanjian pertahanan.
“Atas alasan tersebut, perjanjian ekstradisi tidak pernah mendapat pembahasan, apalagi pengesahan dari DPR. Karenanya, glofikasi sangat tidak berdasar. Sebab belakangan Singapura sangat koperatif bila ada permintaan dari Indonesia, terkait buron tertentu meski perjanjian ekstradisi belum efektif berlaku,” tuturnya.
Menurutnya, perubahan sikap Singapura tersebut adalah karena negara itu tidak ingin dipersepsi oleh publik Indonesia sebagai tempat pelarian pelaku kejahatan kerah putih.