
JAKARTA – Hari raya Iduladha tinggal menghitung hari. Di balik momen yang identik dengan aktivitas umat muslim menyembelih hewan qurban itu, terselip tantangan besar yang harus diwaspadai, yakni tata cara pengelolaan limbah qurban.
Hal inilah yang menjadi sorotan akademisi dari Fakultas Peternakan IPB, dr Salundik. Menurutnya, lonjakan drastis dalam pemotongan hewan qurban harus diimbangi dengan manajemen limbah yang tepat. Jika tidak, limbah tersebut berpotensi besar mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan masyarakat secara luas.
“Limbah ternak yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan dampak lingkungan serius. Mulai dari bau menyengat, serbuan lalat, hingga gangguan kesehatan terutama karena lokasi penjualan hewan kurban umumnya berada di area perkotaan yang padat,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (2/6/2025).
Limbah ternak saat qurban sendiri dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yakni limbah di lokasi penjual dan limbah di lokasi penyembelihan. Di lokasi penjual, limbah yang dihasilkan berupa kotoran (feses) dan sisa pakan hijauan.
Penumpukan ternak dalam jumlah besar selama kurang lebih 20 hari menjelang Iduladha menyebabkan akumulasi limbah dalam jumlah signifikan. Sebagai contoh, jika terdapat 50 ekor sapi dengan produksi kotoran rata-rata 20 kilogram per ekor per hari, maka dalam 20 hari akan terkumpul limbah sebanyak 20 ton.
Sementara di lokasi penyembelihan, jenis limbah yang dihasilkan berbeda, yakni berupa darah, isi rumen, dan saluran pencernaan. dr Salundik mengungkapkan, limbah jenis ini memiliki risiko kontaminasi yang lebih tinggi dan memerlukan penanganan khusus, terlebih di lokasi yang sempit dan tersebar di berbagai titik kota.
Dia menyarankan agar limbah berupa feses dan sisa pakan dapat dikonversi menjadi produk yang lebih bermanfaat, seperti pupuk organik kompos atau vermikompos sebagai solusi paling mudah diterapkan dan memberikan nilai tambah.
“Tapi, tantangan terbesar saat Iduladha dalam implementasi pengolahan limbah di lokasi penyembelihan hewan qurban adalah ketidakpastian jumlah ternak, lokasi yang tersebar, serta keterbatasan lahan,” kata dr Salundik.