Keberhasilan menggolkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), membuat harapan dan tuntutan program legislasi berperspektif gender makin besar.
Ilustrasi kesetaraan gender. (CC0 Public Domain)
“Saya harap, DPR yang dipimpin perempuan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, aktif dan bersinergi dengan elemen masyarakat sipil untuk menyegerakan kebijakan baru yang berperspektif gender,” kata Aisah Putri Budiatri dari Pusat Riset Politik - Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP-BRIN) dalam sebuah diskusi di Pusat Kajian Strategis Hang Lekir (19/4).
Menurutnya, UU TPKS merupakan kerja kolektif antara pemerintah, DPR dan kelompok masyarakat sipil. Dimana keterlibatan aktivis dan lembaga pemerhati perempuan, punya peran besar dalam menyusun UU tersebut.
“Ini momentum baik, karena DPR dan pemerintah bisa sinergis dengan masyarakat sipil untuk hal yang baik. Apalagi, saat ini adalah era kebangkitan perempuan,” ujarnya.
Dikatakan, dirinya melakukan penelitian tentang kiprah aktivis perempuan pada Pemilu 2004. Dimana pada periode 2004-2009 menghasilkan banyak aktivis perempuan, yang kemudian menggandeng kelompok masyarakat sipil untuk political will mereka.
“Meski dalam legislatif porsi anggota perempuan relatif kecil, namun mereka mengumpulkan kekuatan yang lain. Antara lain masyarakat sipil dan kelompok perempuan kemudian membuat gagasan mengenai bagaimana isu apa saja yang penting dan apa yang harus dilakukan,” tandasnya.
Momen
Dia mengatakan, sambutan publik terhadap disahkannya UU TPKS sangat meriah. Sehingga, pemerintah maupun legislatif jangan kehilangan momen.
“Saatnya bekerja cepat mengeluarkan kebijakan yang strategis. RUU TPKS sendiri mandek selama hampir tujuh tahun di DPR. Pada kepemimpinan Puan sebagai Ketua DPR, baru disahkan menjadi UU,” tegasnya.
Sementara co-founder Pusat Kajian Strategis Hang Lekir Maria Hamid menambahkan, ada perempuan duduk sebagai pembuat kebijakan. Dia mengawinkan isu kebebasan dan perempuan, isu perempuan dan keadilan dan membuat itu dibicarakan di ruang publik.
“Hal itu menunjukkan bahwa perempuan punya bargaining power. Hadirnya UU TPKS juga telah mendobrak tabu di masyarakat untuk bicara tentang masalah dalam rumah tangga,” tuturnya.
Dimana selama ini, kekerasan dalam rumah tangga - termasuk kekerasan seksual - kerap kali disimpan rapat-rapat. Entah karena dianggap aib atau bisa diselesaikan sendiri.
“Membuka sekat tabu untuk dibicarakan secara terbuka. UU ini membuat ranah privat menjadi publik, ini hal baik. Karena kalaupun norma sosial berubah, sudah ada legislasinya,” tukas dia.