Wacana penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang disampaikan terus menerus, menunjukkan elit politik telah bercerai dengan rakyat.
Tangkapan layar diskusi Gelora Talk bertema Gaduh Siasat Tunda Pemilu 2024, Menakar Manuver Elit Politik, Rabu (30/3). (Foto: Andri)
"Namun pada saat yang sama, sebagian elit seperti memaksakan agar ide penundaan pemilu berjalan," kata Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta dalam diskusi bertema Gaduh Siasat Tunda Pemilu 2024, Menakar Manuver Elit Politik, Rabu (30/3).
Menurutnya, pemaksaan ide penundaan pemilu antara lain dengan berbagai macam penggalangan dukungan. Namun, tidak semua yang tampaknya mudah, akan bisa dijalankan.
"Karena bila penolakan rakyat sudah terlalu kuat tapi kemudian ada pemaksaan, berarti ada perceraian antara elit dengan rakyat. Dimana elit sudah tidak bisa lagi memahami apa yang dirasakan oleh rakyat," ujarnya.
Pemaksaan itu jelas akan menimbulkan kerusakan besar dalam demokrasi. Sedangkan pakar hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar mengatakan, jalan untuk mengubah konstitusi bisa ditemukan oleh mereka yang sedari awal memang menginginkannya.
"Sehingga ketika syarat dilakukan amandemen sudah tercapai, maka kotak pandora bisa terbuka. Setelah kotak pandora terbuka, setan bermunculan, harapan rakyat tak kunjung tiba," tandasnya.
Sedangkan pasal apa saja yang bisa diubah, tergantung magnitude yang ingin dicapai oleh mereka. Antara lain menghadirkan PPHN, mengubah pertanggungjawaban presiden dan proses pemilihan presiden kembali MPR.
"Sehingga, pasal-pasal yang diubah adalah soal pemilihan langsung, pasal soal kewenangan MPR dan pertanggungjawaban presiden. Bila ini terjadi, maka penundaan pemilu akan sangat mudah diutak-atik," tegasnya.
Daulat Rakyat
Adapun Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengatakan, penundaan pemilu adalah perampasan daulat rakyat secara terang-terangan dan terbuka.
"Karena tanpa ada pemilu, mereka akan tetap berkuasa dan masa jabatan bertambah secara otomatis selama dua tahun. Bahkan, elit memutuskan sendiri tanpa ada persetujuan rakyat," kritiknya.
Penundaan pemilu yang sepaket dengan perpanjangan masa jabatan, dapat diperoleh melalui amandemen. Lagi-lagi dengan mengebiri suara rakyat.
"Yang membuat mereka begitu berani mewacanakan penundaan pemilu adalah karena selama masa pandemi, mereka berhasil mempersempit ruang gerak publik. Termasuk ruang partisipasi masyarakat dalam berbagai pengambilan keputusan publik," paparnya.
Dimana sekuat apapun masyarakat melawan, mereka tetap jalan terus. Sehingga, mayoritas produk hukum dan Undang-undang kontroversial berhasil digolkan.
"Keberhasilan-keberhasilan itu memberi kepercayaan luar biasa untuk membuat hal-hal yang bahkan melampaui yang kita bayangkan. Dimana hal itu justru dilakukan oleh pejabat publik yang seharusnya dipilih melalui mekanisme pemilu," imbuhnya.
Kekuatan terpusat pada presiden melalui pendekatan akomodatif kepada kekuatan politik untuk bisa masuk kabinet, harus diakui melemahkan fungsi kontrol parlemen. "Ini yang juga mempersempit ruang-ruang publik dan memudahkan mereka mengambil keputusan-keputusan yang berjarak dengan aspirasi rakyat," tukasnya.