Rendahnya tingkat partisipasi politik perempuan, dikarenakan oleh faktor internal dan faktor eksternal.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga. (Foto: Biro Hukum dan Humas KemenPPPA)
“Sementara dalam faktor eksternal, yaitu kebijakan partai yang terkadang masih menganut budaya patriarki,” kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga.
Hal itu menyebabkan kurang berpihaknya kebijakan partai kepada perempuan dalam hal pencalonan kadernya untuk maju dalam kontestasi politik. Untuk meningkatkan tingkat partisipasi politik perempuan, perlu adanya dukungan dari semua pihak.
“Keterlibatan pemerintah, partai politik serta perempuan itu sendiri secara selaras, akan mampu meningkatkan tingkat partisipasi politik perempuan yang masih rendah. Apalagi, perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama untuk aktif secara politik,” ujarnya.
Sehingga, tercipta kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang lebih responsif gender. Selain itu, peduli anak untuk pembangunan yang lebih baik.
“Saya berharap, semakin banyak perempuan yang dapat ikut berpartisipasi di lembaga legislatif,” tandasnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase keterwakilan perempuan di parlemen pada tahun 2015 hanya 17 persen.
Lalu pada 2019 keterwakilan perempuan meningkat menjadi 21 persen. BPS juga mencatat, provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan keterwakilan perempuan dalam politik tertinggi.
“Yakni mencapai 58,8 persen,” tegasnya. Namun, masih ada beberapa daerah dengan tingkat keterwakilan perempuan dalam politik masih di bawah 30 persen,” ucapnya.