Pertanggungjawaban Presiden Picu Keberatan akan PPHN
wowsiap.com – Pakar Aliansi Kebangsaan Yudi Latief menegaskan, salah satu isu yang sering memicu keberatan mengenai penetapan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, adalah masalah
wowsiap.com – Pakar Aliansi Kebangsaan Yudi Latief menegaskan, salah satu isu yang sering memicu keberatan mengenai penetapan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, adalah masalah
Pakar Aliansi Kebangsaan Yudi Latief dalam Focus Group Discussion MPR RI bertema Revitalisasi Lembaga MPR.
wowsiap.com – Pakar Aliansi Kebangsaan Yudi Latief menegaskan, salah satu isu yang sering memicu keberatan mengenai penetapan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, adalah masalah pertanggungjawaban presiden. Bahkan banyak yang mengira, jika GBHN (PPHN) ditetapkan oleh MPR, presiden harus bertanggung jawab langsung kepada MPR.
“Menurut mereka, apabila presiden dipilih langsung oleh rakyat, apa relevansinya harus bertanggung jawab langsung kepada MPR,” katanya di Media Center MPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (4/10). Hal itu disampaikannya dalam Focus Group Discussion MPR RI bertema ‘Revitalisasi Lembaga MPR.’
Menurutnya, pikiran seperti itu juga digelayuti oleh bayangan traumatik masa lalu, ketika pertanggungjawaban presiden kepada MPR bisa menjadi pintu masuk ke arah pemakzulan presiden. Padahal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) versi asli sekalipun, tidak terdapat pasal yang menentukan bahwa presiden bertanggung jawab langsung terhadap MPR.
“Benar ia dipilih oleh MPR, tetapi presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan tidak ada ketentuan yang menyatakan MPR berhak melepaskannya dalam jangka waktu lima tahun itu. Dalam penjelasan tentang UUD 1945 memang ada keterangan presiden yang diangkat oleh Majelis, bertunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis. Namun, di sana tidak dijelaskan bagaimana mekanisme pertanggungjawaban presiden kepada Majelis,” tandasnya.
Dia menambahkan, mekanisme pertanggungjawaban presiden secara implisit terkandung dalam penjelasan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan presiden. Jika Dewan menganggap bahwa presiden sungguh melanggar haluan negara – seperti yang telah ditetapkan oleh UUD atau oleh MPR - maka majelis dapat diundang untuk persidangan istimewa.
Sehingga bisa meminta pertanggungan jawab kepada presiden. Dengan kata lain, kata dia, mekanisme pertanggungjawaban presiden kepada Majelis dalam menjalankan GBHN tidak bersifat langsung, tetapi melalui mekanisme pengawasan secara reguler oleh DPR. “Bahkan, dalam kasus Presiden dipandang melanggar Haluan negara, MPR tidak bisa meminta pertanggungjawaban Presiden secara langsung, tetapi melalui mekanisme pengajuan dari DPR,” tukasnya.