Penanganan Negara Lemah, Kekerasan Seksual Marak

Lemahnya penanganan negara atas kekerasan seksual, menjadi pemicu masih maraknya kekerasan seksual.

Penanganan Negara Lemah, Kekerasan Seksual Marak

Ketua Komite III DPD RI Sylviana Murni. (Foto: Bagian Pemberitaan dan Media DPD RI)

Wowsiap.com - Lemahnya penanganan negara atas kekerasan seksual, menjadi pemicu masih maraknya kekerasan seksual. Karenanya, peran pemerintah pusat dan daerah diperlukan dalam menyelenggarakan pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) secara cepat, terpadu dan terintegrasi.

“Peran Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) di daerah, banyak yang belum maksimal. Karenanya, kamu mendorong agar keberadaaan P2TP2A bisa masuk dalam struktur di pemerintahan daerah,” kata Ketua Komite III DPD RI Sylviana Murni di Gedung DPD RI, Senayan, Jakarta, Senin (21/3).

Hal itu disampaikannya dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komite III DPD RI dengan Komisi Nasional Perempuan, terkait inventarisasi materi penyusunan pandangan dan pendapat DPD RI terhadap RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).

Menurutnya, masuknya P2TP2A dalam struktur diharapkan bisa memperhatikan penanganan kasus TPKS yang masih banyak di daerah. Dikatakan, Pemprov DKI bisa menjadi contoh bagi daerah-daerah lainnya bagaimana peran P2TP2A dalam memaksimalkan fungsinya dalam unit pelayanan terpadu.

“Diharapkan keseriusan peran kepala daerah memasukan hal tersebut dalam struktur penyelenggaraan pelayanan terpadu. Termasuk juga penganggarannya,” ujar dia. Dikatakan, Rancangan Undang-undang TPKS disusun sebagai upaya untuk merekonstruksi pemahaman aparat/petugas terkait.

Termasuk masyarakat terhadap sudut pandang yang tepat, perihal kekerasan seksual. Yakni dari perspektif perlindungan hak asasi manusia.

“Bahwa setiap orang tanpa terkecuali, pada asasnya berhak atas perlindungan diri pribadi, kehormatan dan martabatnya, berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan,” tandasnya.

Darurat
Sedangkan Ketua Komisi Nasional Perempuan Andy Yentriyani menyatakan, saat ini terjadi darurat kekerasan seksual. Yakni dengan meningkatnya pelaporan dan daya tanggap yang sangat terbatas.

“Hingga 2021, laporan ke Komnas Perempuan meningkat dari waktu ke waktu. Bahkan pengaduan langsung ke Komnas Perempuan naik 80 persen karena meningkatnya akses pada teknologi informasi dan komunikasi di lembaga layanan perempuan,” tegasnya.

Namun, kondisi penyelesaian kasus melalui proses non hukum masih tinggi. Bahkan proses hukum berjalan lambat, berlarut dan menyudutkan korban. Saat ini, penyelesaian kasus lebih berfokus pada pemidanaan pelaku daripada pemulihan korban terindikasi dari penggunaan restitusi dan potensi kriminalisasi korban masih besar.

“Ini perlu menjadi perhatian kita bersama, karena layanan perlindungan kepada korban masih minim,” tukasnya.

RUU TPKS kekerasan perempuan korban pelaku