Sepanjang tahun 2011 sampai 2019, terdapat 46.698 kasus kekerasan seksual.
Ketua Komite III DPD RI Sylviana Murni dalam rapat penyusunan pandangan dan pendapat DPD RI terhadap RUU TPKS secara fisik dan virtual, Senin (21/3). (Foto: Bagian Pemberitaan dan Media DPD RI)
“Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) hadir sebagai upaya untuk merekonstruksi pemahaman aparat/petugas dan masyarakat terhadap sudut pandang yang tepat. Yakni perihal kekerasan seksual dari perspektif perlindungan hak asasi manusia,” kata Ketua Komite III DPD RI Sylviana Murni, Senin (21/3).
Hal itu disampaikannya saat membuka rapat penyusunan pandangan dan pendapat DPD RI terhadap RUU TPKS secara fisik dan virtual. Dari data yang disampaikan Komnas Perempuan tersebut juga diketahui, sebanyak 23.021 kasus terjadi di ranah publik berupa perkosaan, pelecehan seksual dan kekerasan berbasis gender.
Dari data tersebut, setiap tahun rata-rata terjadi 5.000 kasus kekerasan perempuan. Hal itu yang menjadi sorotan Komite III DPD RI, yang salah satu bidang tugasnya adalah pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
“Komite III DPD RI melihat, setiap orang tanpa terkecuali, pada asasnya berhak atas perlindungan diri pribadi, kehormatan, dan martabatnya. Selain itu, berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan dan berhak untuk tidak disiksa.
“Hak-hak sebagaimana tersebut diakui oleh negara sebagai hak konstitusional yang tercantum dalam UUD 1945. Oleh karena itu, sudah selayaknya negara menjamin pemenuhannya,” ujar dia
Karenanya, dia berharap RUU TPKS harus mampu mengantisipasi berbagai jenis kekerasan seksual yang tersebar di berbagai peraturan perundangan. Selain itu, Komite III DPD RI sependapat perlu percepatan pembentukan UU TPKS dan memastikan jaminan perlindungan korban dan keluarga.
“Kemudian, ada optimalisasi peraturan pemerintah daerah dalam pencegahan penanganan tindak pidana kekerasan seksual perlu diadopsi dalam pembentukan UU TPKS,” tandas Sylviana.
Sedangkan dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera dan Pendiri Pusat Studi Hukum Dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti menjelaskan, tidak hanya sekedar memiliki RUU tapi bagaimana menciptakan RUU yang bisa memihak kepada korban. Karena itu, dibutuhkan pembentukan hukum yang mampu mengejar ketertinggalan.
“Dan mendorong agenda anti kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dibutuhkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang mencakup pencegahan, penindakan, dan penanganan kekerasan seksual,” tegasnya.
Tidak Progresif
Dikatakan, penolakan terhadap penciptaan negara yang bebas kekerasan seksual, menunjukkan pandangan yang tidak progresif, bahkan mundur ke belakang. Dimana perempuan dan anak tidak dianggap sebagai manusia utuh yang bermartabat.
Sementara perwakilan dari RAHIMA/Pusat Pendidikan dan Informasi Islam dan Hak-Hak Perempuan, yang juga Pendiri dan Pengasuh Majlis Ta’lim “Rahmah” Luluk Farida Muchtar memaparkan, ada enam elemen kunci RUU TPKS yang harus ada. Pertama, sembilan tindak pidana kekerasan seksual berdasarkan kasus-kasus yang tercatat di Indonesia.
“Kedua, pemidanaan perhatian khusus pada aspek perlindungan saksi korban yang rentan dilaporkan balik dengan pencemaran nama baik oleh pelaku. Ketiga, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan atau hukum acara khusus penanganan perkara tindak pidana kekerasan seksual,” paparnya.
Kemudian kempat, pemulihan bagi korban, keluarga korban dan saksi. Kelima, pencegahan dan keenam, koordinasi dan pengawasan.