Pemerintah diminta menghindari penggusuran paksa lahan rakyat untuk pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. (Foto: Biro Protokol, Humas dan Media DPD RI)
“Yakni soal penguasaan lahan sebelum melakukan pembangunan. Sebab, Informasi yang terus berkembang, kepemilikan tanah di lokasi calon IKN Nusantara tersebut merupakan kepemilikan masyarakat lokal secara turun temurun,” kata Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Selasa (15/3).
Dirinya juga mendapat informasi, sebagian tanah lainnya adalah milik para transmigran. Menurtunya, hal itu harus dipastikan selesai dengan baik dan tak boleh ada penggusuran paksa lahan rakyat sama sekali.
“Apalagi bila alasannya demi pembangunan IKN Nusantara. Saya tak mau hal itu terjadi. Karenanya, saya meminta agar pemerintah menyelesaikan hal tersebut terlebih dahulu sebelum pembangunan dilakukan,” ujarnya.
Sebab, jangan menunggu hingga terjadi bentrokan antara rakyat sebagai pemilik lahan turunan, dengan kepentingan elit. Khususnya dalam pengelolaan mega proyek IKN Nusantara.
“Persoalan ini fundamental. Pemerintah diharapkan lebih transparan dan serius agar tidak menuai konflik berkepanjangan. Pasalnya tak sedikit konflik yang terjadi tentang lahan yang sudah dikuasai rakyat secara turun-temurun, namun tidak dapat dibuktikan status kepemilikannya secara hukum,” tandasnya.
Tidak Adil
Dimana akhirnya dirampas perusahaan, yang kemudian sanggup mengurus izin konsesi atau bahkan sertifikat. Hal itu jelas tidak adil, karena pada akhirnya rakyat dipaksa pergi dari tanah yang sudah puluhan tahun dikuasainya.
“Jika sudah begitu, masyarakat bukan cuma kehilangan tanah, tetapi juga kehilangan sumber kehidupan. Saya ingatkan aparat untuk tidak melakukan intimidasi, penggusuran paksa bahkan tindakan represif,” tegasnya.
Dia menambahkan, di lokasi IKN, ada begitu banyak tumpang tindih klaim izin konsesi perusahaan. Yang mana sebelum kedatangan megaproyek ibu kota baru pun sudah menimbulkan banyak konflik agraria.
“Secara umum, di Kalimantan Timur, penguasaan lahan pun semakin timpang antara rakyat kecil yang umumnya Bertani, dengan lahan yang dikuasai perusahaan tambang hingga perkebunan,” tuturnya
Dari catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam lima tahun terakhir muncul 50 konflik agrarian. Yakni dengan luas 64 ribu hektar di Kalimantan Timur.