Kasus Rusia yang menginvasi Ukraina, tidak akan terjadi seperti saat Amerika Serikat membela Kuwait yang dianeksasi Irak.
Tangkapan layar Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta. (Foto: Susilo)
“Hal itu terlihat dari pernyataan Presiden AS Joe Biden dan hampir seluruh pemimpin Uni Eropa. Ini berarti bahwa bila yang berperang adalah negara adidaya, maka pada dasarnya tidak ada lagi aturan yang berlaku,” kata Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta, Rabu (2/3).
Hal itu disampaikannya dalam diskusi Gelora Talk bertema Perang Rusia vs Ukraina: Apa Dampaknya pada Peta Geopolitik Indonesia. Menurutnya, perang yang dilakukan oleh negara adidaya membuat tidak ada organisasi yang dapat mendamaikannya.
“PBB dengan Dewan Keamanannya mengalami disfungsi. Sebab, yang berperang adalah negara adidaya yang selama ini membuat aturan. Sehingga, otomatis aturan itu tidak berlaku untuk mereka,” ujarnya.
Karena tidak ada aturan dan lembaga yang bisa memediasi mereka, kata dia, maka perang akan mendekati titik ledak yang lebih besar. Oleh karena itu, Indonesia harus mengantisipasinya.
Sebab, cepat atau lambat, perubahan global akan menyeret Indonesia. Dimana Indonesia harus menjadi kekuatan besar, agar tidak menjadi korban. Terlebih, perang antara Rusia dengan Ukraina adalah perang supremasi dan bukan lagi perang proxy.
“Dimana perang tersebut adalah perang supremasi terbuka, bukan hanya Rusia dengan Ukraina, melainkan Rusia dengan negara adidaya lainnya," tandas dia. Dalam hal ini, lanjutnya, Ukraina hanya menjadi korban perang adidaya tersebut.