Penyusunan suatu undang-undang - lebih lagi ketika menyangkut korban - perlu disiapkan semaksimal mungkin.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga. (Foto: Biro Hukum dan Humas Kementerian PPA)
“Simulasi ini akan menguji norma pada Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), dalam mengurai hambatan pada penanganan kasus kekerasan seksual,” kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga.
Hal itu disampaikannya dalam rapat Pembahasan Simulasi Layanan Terpadu dan Restitusi dalam RUU TPKS. Oleh karenanya, Menteri PPPA secara khusus mendengarkan pandangan dan pengalaman para pendamping korban dan Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual.
Selain itu juga mendiskusikan skema simulasi layanan terpadu dan restitusi dalam RUU TPKS. Agar RUU TPKS yang kelak disahkan, diharapkan dapat mengandung rumusan yang implementatif.
“Selain itu, dapat dijalankan dengan baik, serta mudah dipahami oleh aparat penegak hukum dan didukung oleh sumber daya manusia yang professional,” ujarnya. Sehingga, pemenuhan hak korban dapat diberikan sepenuhnya sesuai peraturan yang berlaku.
Diharapkan, RUU tersebut tidak sebatas dokumen norma hitam atas putih. Sebab ketika disahkan, UU tersebut akan betul-betul implementatif. “Kita perlu memastikan apakah implementasi nyata di lapangannya akan bisa ter-eksekusi dengan baik. Oleh karena itu, simulasi menjadi metode yang penting untuk dilakukan,” tandasnya.
Dikatakan, pelaksanaan simulasi nantinya akan berfokus pada dua simulasi. Yaitu layanan terpadu dan restitusi. “Saya memandang sangatlah penting keterlibatan dari kementerian/lembaga, jaringan masyarakat sipil, serta akademisi pada simulasi layanan terpadu dan restitusi dalam RUU TPKS ini,” tegasnya.
Detail
Sementara para pendamping korban, diantaranya Ratna Batara Munti dari LBH Apik menuturkan, dalam simulasi restitusi perlu mencermati detail aspek-aspek. Mulai dari bentuk restitusi, mekanisme, serta eksekusinya.
Sedangkan Nurherwati memperlihatkan ternyata di lapangan, eksekusi dalam restitusi bisa berlarut hingga tidak tertangani. Misalnya ketika pelaku meninggal dunia, sedang harta pelaku dipegang oleh ahli waris.
“Atau ketika pelaku dinyatakan tidak mampu atau tidak mempunyai harta untuk dieksekusi. Selain itu, mekanisme pemberian ganti rugi kepada korban di luar proses peradilan pidana belum tertangani,” tuturnya.
Padahal, hal itu juga perlu diberi perhatian sehingga RUU ini nantinya sepenuhnya menjamin keadilan bagi korban. Diskusi juga mengurai segi-segi positif metode simulasi. Dimana mensimulasikan restitusi akan dapat menggambarkan bagaimana jalannya proses pelaporan dan penyidikan di kepolisian.
Khususnya ketika dilakukan dengan mengintegrasikan ketentuan-ketentuan mengenai restitusi. Akan dapat teridentifikasi lebih lanjut hal-hal detail seperti ketersediaan blanko isian pengajuan restitusi, pengajuan sita jaminan restitusi sejak tahapan penyidikan, dan lainnya.
Pembahasan tentang simulasi layanan terpadu mengerucut pada aspek akses pada layanan yang disediakan serta upaya mengatasi hambatan bagi korban. Terutama dalam mengakses layanan.
Untuk itu, suatu simulasi akan dapat mengidentifikasi titik-titik hambatan dan cara memecahkannya untuk mendukung pemberian layanan bagi korban. Termasuk pembiayaan dalam pemberian layanan bagi korban.