Penundaan Pemilihan Umum memang bisa dilakukan dengan amandemen UUD Negara Republik Indonesia 1945 oleh MPR RI.
Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani. (Foto: Biro Humas dan Sistem Informasi MPR RI)
“Apakah rakyat setuju pemilu ditunda? Jika hanya mengandalkan kekuasaan formal MPR untuk merubah UUD NRI 1945 dan syarat Pasal 37 UUD bisa dipenuhi, maka kesan abuse of power oleh MPR tidak akan bisa dihindari,” kata Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani, Senin (28/2).
Menurutnya, dalam UUD NRI 1945 jelas menetapkan bahwa pemegang kedaulatan di Indonesia adalah rakyat. Menunda pemilu berarti menunda hak konstitusional pemegang kedaulatan untuk memilih para pengemban mandat, yang akan melaksanakan kedaulatan tersebut untuk masa lima tahun yang akan datang.
“Secara moral, sebagai anggota MPR-RI, saya melihat tidak elok bahwa sebagai pemegang mandat kedaulatan, MPR justru mereduksi hak pemilik kedaulatan, yakni rakyat. Apalagi jika tanpa bertanya kepada rakyat itu sendiri, yang memiliki kedaulatan,” ujarnya.
Sehingga, tidak cukup hanya mengandalkan landasan formal Pasal 37 UUD NRI 1945, tanpa diikuti dengan bertanya kepada rakyat. Apakah mereka setuju hak konstitusional-nya untuk memilih pemegang mandat lima tahunan - baik di rumpun eksekutif maupun legislatif - ditunda.
“Pimpinan MPR dan fraksi-fraksi di MPR secara formal belum pernah membicarakan wacana tersebut. Yang ada, pimpinan MPR mengikuti wacana di ruang publik dan media dan kemudian saling memberikan komentar di WAG internal. Kalau soal konten komentarnya, ya tentu sesuai dengan sikap masing-masing partai,” tandasnya.
Wacana penundaan pemilu tersebut digelindingkan oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar. Kemudian juga disuarakan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto serta diamini Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan.